Tampilkan postingan dengan label Alumni Menulis. Tampilkan semua postingan

0 comments
Jaman semakin berkembang, teknologipun semakin canggih.
madrasah harus selalu di depan dalam menghadapi tantangan.
Bagaimana Tanggapan Alumni kepada MA. Al-Falah Dempo Barat??
Simak di sini. Jangan Lupa Subscribe, Like n Share yaaaa

Read More »

0 comments
adalah Shodik namanya siswa MA. Al-Falah Dempo Barat yang berbakat seni lukis, siswa yang duduk di kelas XII Jurusan IPA ini dibanjiri pesanan. Pesanan ini datang dari berbagai pihak, mulai dari teman-teman sekelasnya, gurunya bahkan masyarakat sosmedpun banyak memesan. "alhamdulillah, walau masih dalam tahap belajar sudah banyak dan antri pesanan" ujarnya. Bakat yang unik dan langka ini pihaknya akan terus dikembangkan. "mohon doanya insyaAllah kami kuliah di jurusan sesai bakat saya ini" harapnya.
Dalam waktu yang berbeda, pihak sekolah bangga dengan bakat yang dimiliki, "kami bangga punya siswa berbakat seperti shodik ini, saya mendukung dan berharap dirinya mampu berkirprah di dunia bakatnya ini" harap Moh.Hoday selaku waka kesiswaan di Madrasah ini. "Bagi yang minat melihat sebagian hasil karyanya bisa dikunjungi laman fb-nya Dicq Domani" tambanya.




Read More »

0 comments

Oleh: Rosidi Achmad*

Kring…..! Kring…..! Kring…..!
Hand Phone Nyai Halimah berdering. Dia mendengar bunyi itu. Kitab Bulughul Marom yang dibacanya dari tadi, dia letakkan di atas meja, lalu menerima panggilan itu, “Assalamua'alaikum,” sapanya sopan sambil mendekatkan hand phone di telinga kanannya.
“Wa'alaikum salam,” tutur penelpon itu dari kejauhan, “Maaf Nyai ini saya, Khotijah.”
“Subhanallah, ternyata Ibu Hj Khotijah. Bagaimana kabarnya, Bu?”
“Alhamdulillah, kami sekeluarga sehat. Kalau Pancenengan  dan keluarga bagaimana?”
“Seperti biasa, semua sehat. Kedengarannya, Ibu sekarang berada di dalam mobil, hendak mau ke mana, sih, Bu?”
“Kami memang berada dalam mobil, kami hendak mau ke rumah Nyai. Kami sekeluarga sekarang hampir tiba di pasar Waru.”
“Betulkah? Kami sangat bahagia mendengar kabar ini, tapi kok mendadak sekali?”  tutur Nyai Halimah sambil memindahkan hand phone ke telinga kirinya, “Coba seandainya ibu memberi kabar pada kami tadi pagi, pasti kami bisa siap-siap sebelumnya.”
“Tidak usah repot-repot. Kami jadi tidak enak, mendingan sederhana asalkan kita bisa berkumpul bersama.”
“Ya sudah, kalau begitu kami tunggu.”
“Sebelumnya kami sampaikan terima kasih. Insya Allah sebentar lagi kami sampai di sana. Assalamualaikum,”
“Wassalamualaikum,” jawab Nyai Halimah. Dan Klik.!Beliau menutup panggilan.
*****
Bukan tanpa alasan kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya terharu. Beberapa kali dia menahan nafas saat membaca kalimat-kalimat dalam novel itu. Karakter perempuan berkerudung merah dalam novel itu mampu menyentuh hatinya hingga membuat matanya berkaca-kaca. Kisah Yusuf dan Perempuan berkerudung merah yang memendam cinta. Cinta mereka tertutup rapat, hanya Allah, Yusuf dan perempuan berkerudung merah yang tahu. Memang, itu semua adalah hikayah. Hikayah yang mampu membawa jiwanya mengalir, saat membaca novel itu, hingga dia tidak sadar bahwa dia sudah berada di lembar terakhir.
“Neng, kenapa termenung seperti itu?” tanya Anis sambil duduk di samping Hidayah, “Neng Hidayah menangis?”
“Saya begitu larut saat membaca novel ini,” Hidayah bangun dari tempat tidurnya, “Karakter tokohnya begitu kuat. Bahasanya sangat ringan dan mudah dimengerti. Jujur, beberapa kali saya sudah meneteskan air mata haru.”
“Walah, Baru kali ini saya lihat Neng seperti itu. Sampai meneteskan air mata lagi,” ucap Anis dengan nada sedikit meledek, “Bukankah Neng tidak suka buku fiksi. Mmm, atau, jangan-jangan karena penulisnya bukan orang sembarangan?"
“Bukan seperti itu, kamu kan juga tahu novel ini adalah milik Khairul, dia juga yang menulisnya.”
“Itulah sebabnya, Neng. Lidah itu boleh bohong, tapi hati tidak akan bisa berbohong. Kalau bukan hati sudah terpaut, maka cendrung kebosanan yang akan melanda. Hati sangat mempengaruhi pribadi seseorang. Apalagi mahabbah melanda hati, pasti semua akan terasa indah. Meski dengan kaki telanjang pun mampu melalui jalan yang penuh dengan kerikil tajam. Badai saja akan berubah menjadi angin sepoi-sepoi basah. Semuanya akan berubah menjadi indah, seindah taman dalam surga Firdaus-Nya. Itulah perasaan, bila hati sudah penuh cinta.”
“O, kamu ingin bilang bahwa saya suka pada Khairul?”
“Tanyalah pada hati Neng sendiri.” 
“Maksudmu?” Hidayah kembali bertanya penasaran.
“Seperti yang saya katakan barusan. Lidah mungkin bisa bohong, tapi hati tidak akan pernah bisa bohong. Apa yang dikatakan oleh hatimu, itulah jawaban saya, Neng,” jawab Anis.
Hidayah kembali tertunduk. Tidak ada kata-kata yang terangkai melalui bibirnya. Hatinya terus membaca istighfar berulang-ulang. Matanya memandang novel yang dipinjamnya pada Khairul di atas mobil, saat mereka tidak sengaja bertemu seminggu lalu.
“Neng, Buk Nyai tadi mencari kamu,” tutur Anis.
“Kenapa kamu baru bilang bila ummi memanggil saya?”
“Saya lupa, Neng. Sebenarnya sudah tadi buk Nyai bilang pada saya saat pulang dari perpus pesantren. Saya minta maaf atas kelalaian saya ini, Neng.”
“Tidak. Kamu tidak salah apa-apa, kok. Saya ke rumah dulu, tapi maukah kamu membantu saya?”
“Apa yang bisa saya bantu, Neng?”
“Tolong novel ini kamu bungkus menggunakan kertas. Di dalamnya ada surat yang saya tulis untuknya. Berjanjilah kamu tidak akan membacanya. Setelah itu kamu berikan pada Hermanto penjaga koperasi pesantren. Suruhlah dia untuk mengantarkan novel ini ke pesantren Al-Fatah di Desa Dempo Barat. Serahkan pada penulisnya, Khairul.”
“Lho, kan, dia mahasiswa di pesantren ini, kenapa tidak dikasih saat jadwal kuliah?”
“Dipastikan dia tidak akan masuk kuliah. Dia sudah menyelesaikan masa kuliahnya. Kamu kan tahu, mahasiswa yang meraih nilai terbaik dan mendapat rekomendasi ikut tes beasiswa di kampus ini bukan siapa-siapa, tapi pemuda yang membantu mencarikan bukumu dulu. Ya sudah, saya mau menghadap ummi dulu.”
Anis menerima novel itu. Hidayah pun pergi dari pondoknya memenuhi panggilan ibunya.
*****
Mobil pribadi keluarga Subhan Rasyid terus melaju menuju kediaman keluarga Kyai Mukhtar. Di dalam mobil mewah warna putih itu, turut serta ayah dan ibunya:  H. Lukman Hakim dan Hj. Khotijah. H. lukman berada di kursi depan dengan sopir pribadinya. Sedangkan Subhan Rasyid dan ibunya berada di kursi tengah. Keluarga pengusaha tersukses di kota Pamekasan itu sangat menikmati perjalanan mereka. Beberapa kali H. Lukman menyuruh sopir pribadinya untuk memperlambat laju mobil agar bisa melihat pemandangan di sekitar jalan yang mereka lalui. Apalagi saat mereka berada di daerah Gangser yang terkenal keindahan sungainya.
“Ma, saya ingin membuat rumah di dekat sungai ini, bila nanti saya sudah nikah dengan Hidayah,” tutur Subhan manja, sambil memandang ibunya.
Ibunya tersenyum. Lalu memandang suaminya yang duduk bersama sopir di kursi depan. Kemudian bicara, “Ayah, apakah kamu denger apa yang dikatakan anak kita ini?”
“Tentu, kita akan buatkan rumah mewah untukmu dan istrimu. Kalau perlu lengkap dengan bandaranya,” jawab ayah Subhan sambil melihat ke arah anak dan istrinya.
Subhan tersenyum bangga mendengar ucapan ayahnya. Lalu kembali memandang ke luar jendela mobilnya.
Memang, kekayaan ayahnya yang melimpah, perusahaan dan pabrik miliknya yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur membuat keluarga itu menjadi orang terkaya di Kabupaten Pamekasan dan sekitarnya. Semua kebutuhan yang dia perlukan selalu terpenuhi; baik sandang maupun pangan.
Rombongan keluarga H. Lukman Hakim tiba di kediaman Kyai Mukhtar. Mereka disambut dengan ramah oleh keluarga pesantren Al-Amin. Beberapa jenis minuman dan makanan seperti Tapai tertata rapi di atas meja. Mereka berkumpul di ruang tamu khusus pesantren.
“Lho, jangan hanya dilihat makanannya,” pinta Kyai Mukhtar, “Silahkan Pak dicicipi Tapai khas Gangser itu.”
“Iya, dipersilahkan dicicipi, bapak dan ibu Lukman,” tambah Nyai Halimah sambil menyodorkan Tapai pada mereka.
Keluarga H. lukman mengambil Tapai itu. Mereka mencicipinya. Ibu H. Khotijah mulai berkomentar, “Di Pamekasan jenis makanan ini sangat sulit didapatkan. Rasanya yang manis membuat orang pada ketagihan dan memburu Tapai seperti ini.”
“Jika begitu, tinggal di sini saja, Buk. Insya Allah, setiap hari akan kami sediakan Tapai yang sebanyak-banyaknya.”
“Ah, Pancenengan bisa saja,” jawab H. Khotijah singkat, sambil tertawa kecil. Semuanya pun turut tertawa.
Dua keluarga itu terus berbincang-bincang. Mula-mula Kyai Mukhtar bertanya tentang keadaan di kota Pamekasan. Beliau juga bertanya pada Subhan tentang perkembangan kuliahnya di Malang. Subhan menjelaskan pada Beliau. H. Lukman begitu bahagia mendengar kecakapan putranya pada Kyai Mukhtar yang tidak lain adalah calon mertua anak kesayangannya.
Berbeda dengan Hidayah yang dari tadi berada dalam kamarnya. Dia melihat perbincangan orang tuanya dan keluarga Subhan dari jendela berkaca hitam yang tak tembus pandang dari luar, tapi Hidayah bisa memandang dengan leluasa dan jelas dari dalam kamarnya.
“Assalamualaikum,” ibu Hidayah mengucap salam sambil mengetuk pintu kamarnya.
“Waalaikum salam,” jawab Hidayah sambil membuka pintu.
“Hidayah, abimu menyuruhmu untuk berkumpul bersama mereka.”
Hidayah menjauh dari ibunya. Tempat tidur yang dia tuju. Dia tidur membelakangi ibunya yang datang dari pintu masuk kamarnya. Nyai Halimah menghampirinya. Dia duduk di sampingnya kemudian kembali berbicara, “Nak, hargailah niat baik mereka. Bukankah tidak sempurna iman seseorang sampai dia mau menghormati tamunya. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya tidak bahagia menjalani hidupnya. Nak, bangunlah. Bergegaslah ke kamar mandi walau hanya membasuh wajahmu dengan air wudlu. Insya Allah, setelah itu hatimu akan kembali tenang. Temui mereka walau sebentar. Keluarga Subhan ingin bicara denganmu.”
Hidayah duduk kembali. Kini dia menatap wajah ibunya dengan senyuman yang dipaksakan sambil bertutur pada ibunya, “Hidayah masih dalam keadaan punya wudlu. Hidayah baru saja melaksanakan shalat ashar. Sebelum Hidayah berkumpul bersama abi dan mereka, maukah ummi menceritakan pada Hidayah. Kenapa ummi dan abi ingin menjodohkan saya dengan Subhan?”
“Almarhum kakekmu dan kakek Subhan dulu pernah nyantri di pesantren Matlaun Najah di Kabupaten Sumenep. Kakekmu begitu bersahabat dengan kakek Subhan. Mereka berkeinginan kelak tidak hanya sebatas sahabat, tapi ingin ada ikatan kekeluargaan. Nah, setelah kakekmu dan kakek Subhan selesai mondok. Kakekmu mendirikan pesantren ini, sedangkan kakek Subhan menjadi pengusaha. Persahabatan mereka begitu kuat, kakekmu dan kakek Subhan saling melengkapi. Mereka pun sama-sama menikah di tanggal dan hari yang sama. Mereka pun berjanji bila punya anak maka akan mereka jodohkan. Hingga akhirnya, kakek Subhan punya satu anak laki-laki dan kakekmu juga punya satu anak laki-laki yaitu abimu. Maka dari itu, kakekmu berwasiat sebelum wafatnya, apabia kelak punya anak untuk dijodohkan dengan anak pak H. Lukman Hakim anak dari Almarhum H. Hakim sahabat dari kakekmu, Kyai Moh. Ilyas. Maka dari itu, temui mereka di ruang tamu. Mereka akan melamarmu. Ummi dan abi tidak bisa memberikan jawaban pada mereka. Semua ada pada dirimu, karena kamu yang akan menjalaninya. Katakan dengan jujur pada mereka. Jangan kamu korbankan perasaanmu, hanya untuk kebahagian ummi dan abi. Bagi kami, kebahagiaanmu adalah yang utama.”
“Ummi,” potong Hidayah sambil menatap wajah ibunya.
“Iya, Nak. Ada apa?”
“Hidayah minta maaf, bila selama ini masih belum bisa membuat ummi dan abi bahagia,” tuturnya sambil menundukan kepalanya.
Nyai Halimah memandang anak kesayangannya, lalu Beliau memeluknya erat-erat, “Tidak, Nak, kita sangat bersyukur memiliki putri sepertimu. Kamu selalu berusaha membahagiakan orang tuamu ini, walau terkadang kamu harus mengorbankan perasaanmu. Semoga Allah membalas pengabdianmu pada ummi dan abi.”
“Ummi, ini semua masih belum cukup untuk membalas jerih payah abi dan ummi selama ini. Kalian sudah melahirkan  dan membesarkan Hidayah dengan penuh kasih dan asuh. Hidayah sangat bersyukur memiliki orang tua seperti kalian. Saya sayang pada kalian."
Nyai Halimah melepas pelukannya.
"Ummi menangis. Kenapa ummi menangis? Apakah anakmu ini sudah berkata salah? Hukum Hidayah, ummi. Hukum Hidayah bila memang seperti itu."
"Ibu mana yang tidak bahagia memiliki putri seperti mu, Nak?" tutur  Nyai Halimah sambil memegang kedua pipi putrinya, "Air mata ini adalah air mata kebahagiaan."
Hidayah menyeka air mata ibunya sambil tersenyum, ibunya juga tersenyum.
Mereka pun melangkah menuju ruang tamu. Tidak lama kemudian mereka sampai juga. Keluarga H. Lukman memandang Hidayah. Subhan  terus menundukan kepala memandang lantai, meski matanya diam-diam memperhatikan calon istrinya.
“Masya Allah, rupanya Hidayah sudah besar, tambah cantik lagi,” sapa Hj. Khotijah sambil merayu, “Sekarang kuliahnya sudah semester berapa, Nak?”
“Al-hamdulillah, sudah semester lima,” jawab Hidayah datar, lalu duduk bersama ibunya di samping kanan Kyai Mukhtar.
Subhan  tertegun mendengar suara Hidayah. Dia merasa ada getaran hebat masuk saat mendengar suaranya. Dia tetap menundukan kepala.
“Mumpung semua sudah berkumpul, alangkah baiknya bila saya langsung menyampaikan pada Hidayah maksud dan tujuan kami datang," tutur H. Lukman langsung pada pokok pembicaraan, "Begini Nak, maksud kedatangan kami hari ini tentu ingin bersilaturrahim. Selain itu, kami ingin  melamarmu. Besar harapan kamu mau menerima lamaran ini, karena kami pikir nak Hidayah dan Subhan sudah lama bertunangan. Atas dasar itu, menurut saya, alangkah baiknya bila hubungan kalian diikat dengan tali pernikahan."
Hidayah kembali memandang wajah kedua orang tuanya. Dia menghela nafas lalu membaca basmalah dalam hatinya, “Saya sangat bahagia mendengar kabar ini. Hati saya sudah ikhlas menerima bila saya harus bersuamikan Mas Subhan.”
“Betulkah kamu menerima lamaran saya Hidayah?” tanya Subhan.
“Insya Allah, tapi ada satu permintaan.”
“Apa permintaan itu, nak? Kamu berhak memintanya pada kami,” tanya  ibu Subhan, “Insya Allah kami akan memenuhinya. Katakana saja jangan sungkan!”
“Sebelum saya menikah dengan Mas Subhan, idzinkan saya mondok ke pesantren Al-Fatah.”
“Mondok?” tanya Subhan singkat.
“Iya, saya ingin mondok,” jawab Hidayah
Nyai Halimah dan Kyai Mukhtar mendengar pembicaraan putrinya.
“Kamu tidak ingin menghindar dari saya, kan? Atau kamu  ragu pada kesetiaan dan tanggung jawab yang saya miliki? Yakinlah, dengan pengalaman empat tahun di bangku kuliah yang telah saya tempuh, pasti saya mampu membahagiakanmu.”
“Subhan, jangan kamu bilang seperti itu pada Hidayah,”  potong ibu Subhan, “Biarkan dia bicara dulu.”
“Saya hanya ingin  menjadi istri yang selalu menyenangkan hati Mas Subhan kelak. Seperti apa yang dilakukan oleh Siti Khatijah pada Rasulullah atau seperti Sulaikha pada Nabi Yusuf. Mereka menjadi wanita mulia karena selalu berusaha menyenangkan hati suaminya. Dan mereka begitu sabar menemani perjuangan mereka untuk menegakkan agama Allah. Memang, di balik laki-laki hebat pasti di belakangnya ada wanita hebat, tapi bagaimana saya bisa menjadi istri yang baik dan membantu Mas Subhan menjadi pria hebat dan bermamfaat di tengah masyrakat, bila saya tidak memiliki pengetahuan tentang agama? Bukankah sesuatu  yang kecil sekalipun seperti bersuci sampai yang besar seperti ibadah pada Allah semua pasti ada ilmunya, maka dari itu saya ingin memperdalam ilmu dan mencari berkah Allah di pesantren Al-Fatah yang saya maksud, walau hanya satu tahun atau dua tahun. Saya mondok hanya ingin memperdalam ilmu agama di pesantren yang saya maksud. Ini semua saya lakukan hanya untuk mempersiapkan diri agar menjadi istri yang baik dalam rumah tangga yang akan Mas pimpin kelak,” tutur Hidayah sambil menundukkan kepalanya.
“Lalu, bagaimana dengan kuliahmu, bila kamu mondok di sana?” tanya ibu Subhan khawatir.
“Insya Allah saya akan tetap kuliah. Saya akan naik angkot dari Dempo menuju Gangser.”
“Biar saya saja yang mengantar dan menjemputmu," usul Subhan, "Kebetulan saya tidak ada jadwal kuliah untuk tahun ini, yang ada paling cuma nunggu jadwal wisuda."
“Tidak usah  Mas, terimakasih,” Hidayah menolak, “Insya Allah saya sudah terbiasa berjalan sendiri, karena setiap hari ummi selalu nyuruh saya ke pasar untuk belanja. Lagian jadwal kuliah saya tidak begitu padat, hanya hari sabtu dan minggu, lebih baik Mas kembali lagi ke Malang untuk mempersiapkan wisudamu.”
“Baiklah, bila itu permintaan nak Hidayah, Insya Allah kami akan sabar menunggu," tutur ibu Subhan bijak, "Lagi pula kami juga ingin pernikahan kalian adalah pernikahan yang benar-benar timbul dari keinginan kalian berdua. Hidayah benar, semuanya butuh ilmu. Subhan, ternyata kamu harus banyak belajar dari Hidayah."
“Terimakasih, Ma. Insya Allah saya akan menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.”
“Sama-sama, Nak. Belajarlah yang giat di sana.”
Hidayah kembali menganggukkan kepala sambil melirik wajah ibu dan ayahnya yang tersenyum. Senyum yang tidak dapat dia pahami maknanya. Mungkinkah  senyum itu adalah senyum bangga karena memiliki putri sepertinya atau sebaliknya?
“Lho, silahkan Pak H. Lukman minum lagi tehnya,” pinta Kyai Mukhtar bermaksud mengalihkan perhatian, ”Tapainya juga jangan lupa dicicipi sekalian.”
“O, tidak usah, semua sudah lebih dari pada cukup,” tukas H. Lukman sambil melirik jam tangannya, “Kami mohon pamit pulang saja, nampaknya maghrib sudah hampir tiba.”
“Tunggulah saja sebentar lagi, maghrib sudah hampir tiba. Kita shalat berjemaah bersama santri saja di masjid sekalian,” pinta Kyai Mukhtar.
“Maksud hati ingin sekali berlama-lama bersama Pancenengan, tapi saya harus pulang. Besok pagi-pagi sekali saya harus berangkat ke Surabaya untuk ngecek proyek pembangunan pabrik gula saya yang baru.”
“O, iya kami tunggu di Pamekasan. Kira-kira kapan Kyai, Nyai dan Hidayah akan main ke Pamekasan,” tanya ibu Subhan.
“Insya Allah, kami pasti main ke rumah ibu,” tutur ibu Hidayah.
“Ya sudah bila itu memang ke inginan bapak H. Lukman, kami tidak bisa mencegatnya. Sekali lagi terimakasih sudah berkunjung ke rumah kami.”
“Seharusnya kami yang berterimakasih,” tutur H. Lukman, “Karena sudah membuat repot keluarga Pancenengan.”
Dua keluarga itu pun saling bersalaman.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


Read More »

0 comments

Oleh: Rosidi Achmad*

Angin malam berhembus tenang. Langit terbentang luas di atas cakrawala. Bintang dan bulan turut bersanding menghiasi malam. Cahaya keemasannya menyepuh lautan luas dan ombak yang tidak pernah bosan menghempas batu karang. Suara hempasan itu begitu riuh.  Gemerlap lampu perahu di tengah laut turut menambah pemandangan pantai Pasongsongan memesona.
Iman, hanya orang beriman yang akan mendapatkan petunjuk. Keindahan itu terjadi bukan dengan tiba-tiba. Itu semua: hembusan angin, bulan dan bintang yang menghiasi malam, ombak, pantai indah, dan perahu yang berlayar di atas pantai adalah tanda-tanda ke-Esa-an Allah Swt..
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermamfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkanNya bumi setelah mati(kering), dan dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.
Begitu besar arti kehidupan bagi manusia. Hidup di dunia hanya sekali dan tidak kan terulang dua kali. Tujuan hidup yang sesungguhnya adalah untuk mencari ridho-Nya. Cinta dan kasih sayang-Nya sangatlah luas terhampar di atas bumi ini. Itulah cinta Robby pada manusia yang tidak lekang termakan masa. Meski makhluk-Nya sering kali lupa, bahkan ingin menjauh dari-Nya. Sekali lagi, hanya orang-orang yang mengerti dan bersyukurlah yang mampu memaknai cinta kasih-Nya. Bermacam-macam cinta Allah pada manusia. Kegagalan dan kesuksesan salah satu dari macam-maca itu.
“Khairul, sekarang saatnya kamu bahagia, tretan. Cita-citamu sudah kamu genggam,” tutur Edy sambil berlari pelan menjauhi Khairul, “Mari kita nikmati malam dan pantai Pasongsongan indah ini.”
“Iya, Cak. Edy benar. Selamat atas kelulusanmu, wahai sarjana muda. semoga ilmunya berkah.  Mohon maaf, kita sudah membohongimu,” tambah Surahman.
Sahri tersenyum, lalu ikut berlari bersama Surahman dan Edy di atas pasir pantai Pasongsongan.
“Awas kalian. Sahabat macam apa yang berani membohongi sahabatnya sendiri. Katanya kalian akan membawa saya ke Panaongan untuk ziarah, tapi malah kalian bawa ke pantai ini. Sahabat macam apa kalian!" ucap Khairul geram, sambil terus mengejar ketiga sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka. Sementara mereka terus berlari, berusaha menjauh dari pengejaran Khairul.
Otak dari kebohonangan terencana itu didalangi oleh Edy. Dia bahagia melihat Khairul malam itu. Sudah lama dia tidak melihat Khairul berlari sambil tertawa lepas. Dia berpikir rencananya berjalan sesuai yang direncanakan bersama Surahman dan Sahri jauh hari sebelumnya.
Ide itu muncul tiga hari sebelumnya. Sesudah Khairul dan tiga sahabatnya melaksanakan ngaji surah Yasin sebagai rasa syukur atas nikmat yang diperolehnya. Tidak taggung-tanggung, mereka rela mengadakan sumbangan tanpa sepengetahuan Khairul untuk nyewa dong-odong pada Mad Suhri. Itu semua mereka lakukan sebagai kejutan atas keberhasilan Khairul menjalani masa kuliahnya selama empat tahun.
Kini, usaha mereka untuk memberikan kejutan pada Khairul tidak lah sia-sia. Edy bahagia melihat Khairul berlari sambil tertawa lepas di atas pasir pantai Pasongsongan. Bintang, bulan, deru ombak dan angin malam pantai yang berhembus tenang menjadi saksi kejadian itu. Mereka tertawa, berlari saling mengejar satu sama lain, dan saling melempar pasir.
“Subhanallah, mataku. Edy, tolong mataku  perih,” Khairul tergeletak di atas pasir sambil menahan sakit. Surahman melempar pasir tepat di wajahnya. Wajah Khairul berlilip pasir.
Mereka menghampiri Khairul. Tubuh Surahman gemetar, Sahri dan Edy melihat Khairul berguling-guling menahan sakit di matanya.  “Cak, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Edy cemas.
“Khairul, coba buka matamu, tretan,” pinta Edy, sambil merangkul kepala Khairul.
Surahman hanya berdiri melihat Khairul.
“Ya Allah, saya tidak bisa melihat. Rasanya sakit sekali. Kawan kalian di mana? Jangan tinggalkan saya sendirian di sini,” tutur Khairul sambil memegang matanya dengan kedua tangannya. Dia pun pingsan.
“Tretan, bangun. Bangun, Rul,” ucap Edy sambil menepuk-nepuk pipi Khairul, “Kami di sini bersamamu, tretan. Bangun tretan, jangan buat kami cemas.”
“Kak, kita bawa ke pondok saja,” usul Edy, “Saya khawatir pada keadaannya.”
“Ya, kamu benar. Kita pulang saja. Surahman, kamu jangan hanya berdiri saja. Bantu kami membawa Khairul ke dong-odong,” tutur Edy.
Mereka bertiga mengangkat tubuh Khairul yang tidak sadarkan diri menuju dong-odong. Edy selalu memandang mata Khairul yang terpejam. Dia berharap sahabatnya itu baik-baik saja. Meski mereka tidak tahu akan membawa Khairul kemana untuk memberikan pertolongan. Edy kini menyesal. Rencana besarnya untuk membuat Khairul bahagia kini berubah menjadi petaka. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas perbuatannya itu. Mata yang seharusnya melihat hasil dari usahanya selama ini, kini harus buta sebab perbuatannya. Dia tidak bisa memaafkan dirinya bila itu benar-benar terjadi pada sahabat terbaiknya, Khairul.
Sebelum sampai ke dong-odong, Sahri, Edy dan Surahman berhenti berlari membawa Khairul. Mata mereka menatap wajah Khairul. Dari cahaya rembulan mereka melihat senyum di wajah Khairul. Senyum yang sengaja dia simpan agar tidak tampak. Sudah nampak semua kebohongan Khairul pada sahabat-sahabatnya itu.
“O, jadi kamu membohongi kita semua,” tutur Edy, “Awas kamu!”
“Maaf, tolong turunkan saya, tretan,” pinta Khairul sambil tertawa lepas, “Saya, saya hanya pura-pura pingsan.”
“Jangan kak!” larang Surahman, “Kita lempar saja ke laut biar tahu rasa.”
“Setuju!” tambah Sahri, “Ayo kita bawa, kak!”
Khairul memberontak dan meronta agar bisa terlepas dari tangan mereka, tapi usahanya sia-sia. Mereka begitu kuat mengangkat dan memegang tubuh Khairul. Keinginan mereka untuk meng-eksekusi Khairul ke pantai begitu kuat. Beberapa kali Khairul meminta maaf, tapi usahanya sia-sia. Mereka terus membawa Khairul ke bibir pantai.
“Edy kamu siap?” tanya Edy sambil memegang kedua tangan Khairul
“Ya, tentu, Kak,” jawabnya singkat sambil memegang kaki kiri Khairul.
Khairul terus memberontak dan meronta sambil meminta maaf.
“Surahman, kamu sendiri, gimana?”
“Saya selalu siap, Kak,” tutur Surahman sambil memegang erat kaki kanan Khairul.
Edy sebagai eksekutor mulai menghitung. Semua tenaga mereka kumpulkan sebelum sampai di hitungan ketiga. Mereka terus mengayun-ayunkan tubuh Khairul. Dalam hitungan ketiga, mereka benar-benar melempar tubuh Khairul ke laut. Tubuh Khairul basah kuyub. Mereka tertawa girang melihat Khairul berhasil di eksekusi. Khairul pun juga bahagia melihat sahabat-sahabatnya tertawa bahagia, meski dia harus mengorbankan dirinya. Tiada amarah dalam hati mereka. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka yang selalu ada dalam suka dan duka.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


Read More »

0 comments

Oleh: Rosidi Achmad*

Nyai Halimah sedang menyiapkan makanan bersama beberapa santri putri di dapur pesantren putri. Makanan-makanan itu mereka  siapkan untuk masyarakat yang datang pada Kyai Mukhtar. Tidak kurang dari dua puluh sampai lima puluh orang datang setiap hari. Keperluan mereka beragam. Ada yang hanya sebatas silaturrahim dan juga ada yang ingin memondokkan putra-putrinya, bahkan ada yang ingin menanyakan  tentang agama pada pengasuh yang murah hati itu.
“Assalamuaaikum, Ummi,” Hidayah memanggil salam sesampainya di depan pintu dapur.
Nyai Halimah menoleh dan menatap ke arah pemilik suara itu. Dia meletakkan pisau dan wortel yang baru dipotongnya, lalu menjawab bahagia sambil berjalan ke arah Hidayah, “Waalaikum salam. Aduh, putri ummi sudah datang.”
“Maaf, ummi sudah menunggu lama, abis mobil yang saya tumpangi melaju pelan.”
“Yang penting kamu selamat, ummi sudah bahagia,” jawab ibunya sambil mengambil belanjaan yang dibawa oleh Hidayah, “Bukankah ummi juga bilang sebelum kamu berangkat, agar kamu meminta bantuan santri untuk ke pasar.”
“Kan ummi sendiri yang ngajarin. Selama kita mampu melakukan dengan tangan kita sendiri, kenapa kita harus meminta bantuan orang lain.”
Nyai Halimah kembali tersenyum mendengar jawaban putrinya. Hidayah pun turut tersenyum karena bisa membahagiakan hati ibunya. Baginya kebahagian ibunya adalah segala-galanya.
“Wah, kamu juga beli buku materi kampusmu, ya?”
“Tidak, ummi. Ini Novel. Tadi saya pinjem pada temen saat tidak sengaja bertemu di atas mobil yang kita tumpangi.”
“O, kira-kira cowok apa cewek?” tanya ibunya sambil berguyon, “Siapa namanya?”
“Mmm, ummi, ada aja. Rahasia, dong,” tutur Hidayah manja sambil mengecup pipi ibunnya. Lalu dia berlari kecil menuju pondok dengan sejuta kebahagiaan memenuhi hatinya.
“Hidayah, tunggu sebentar, Nak.” panggil ibunya.
Dia berhenti dan menatap ibunya bahagia, lalu bertutur, “Ada apa lagi ummi tersayang?”
“Hidayah. Insya Allah Subhan Rasyid dan keluarganya akan bermain ke sini minggu depan.”
Hidayah menghela nafas. Dunia seakan sempit terasa.  Wajahnya tertunduk lesu. Sinar kesemangatan yang muncul dari kedua mata indahnya pun redup.
“Hidayah, kamu kenapa, Nak?” tanya ibunya.
Hidayah pun terjaga dari lamunnya. Wajahnya dia paksa untuk tersenyum. Tidak ada kata-kata yang terangkai dari bibirnya. Dia menganggukkan kepala. Ibunya pun tersenyum. Hidayah kembali melangkah ke pondok pribadinya untuk membaca Idhafah Cinta Khairul Mufid yang baru saja dia pinjam di atas mobil.
*****
Seorang mahasiswa berbaju biru berlari menuju kantin, sambil berteriak-teriak memanggil nama Khairul. Seluruh pelanggan kantin Al-Amin kaget bukan main. Mereka melihat ke arah mahasiswa berbaju biru itu, yang tidak lain sahabat Khairul, Yanto. Dia satu jurusan dengan Khairul, matematika. Teman-temannya biasa memanggil namanya dengan sebutan Anto.
“Khairul, saya bahagia sekali hari ini. Alhamdulillah,akhy.”
“Ada apa, toh?” tanya Khairul sambil berdiri dari duduknya, “Seperti orang lagi dikejar serigala saja.”
Anto menarik nafas sebelum bicara. Setelah benar-benar tenang dia berkata sambil memegang bahu Khairul, “Tretan, saya sangat bahagia hari ini. Nama kita terpampang di papan informasi kampus. Kita mendapat rekomendasi ikut beasiswa di Jember. Kita akan pergi ke Jember, kawan. Dan kamu adalah mahasiswa peraih I.P.K tertinggi dari semua mahasiswa semester akhir di semua jurusan.”
“Betulkah, kamu tidak membuat-buat, kan?” Khairul bertanya, meminta kepastian.
“Kapan saya pernah bohong padamu kawan? Bila kamu tidak percaya, mari kita lihat sama-sama,” tegas Anto.
Mereka berangkat menuju papan informasi itu. Mereka berlari begitu cepat. Khairul masih membayangkan ucapan Anto. Dia masih tidak percaya bahwa IPK-nya teringgi dari semua jurusan semester akhir. Mereka berlari dan terus berlari.
Semua mahasiswa semester akhir memenuhi halaman kantor kampus Al-Amin. Suasana begitu ramai. Mereka bersorak gembira saat mengetahui hasil jerih payah mereka selama empat tahun duduk di bangku kuliah. Khairul dan Anto terus menerobos masuk ketengah keramaian itu. Mereka rela berdesak-desakan dengan mahasiswa lain. Suasana begitu ramai. Khairul terus berada di belakang Anto. Dia melihat keringat memenuhi leher sahabatnya itu, karena suasana yang sangat ramai. Laksana jemaah haji yang sedang bertawaf.
“Saya rasa, lebih baik kita lihat nanti saja informasi itu,” pinta Khairul.
“Apa, Rul? Saya tidak denger apa yang kamu katakana. Terlalu ramai. Sebentar lagi kita sudah sampai di depan.”
Akhirnya mereka sampai juga.
“Lihatah, di jurusan matematika kamu ada di urutan pertama. Sedangkan namaku ada di urutan delapan belas. Dan lihatlah pula yang ini. Ini adalah rekapituasi semua mahasiswa mulai dari jurusan matematika, Tarbiyah, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PPKn, PAUD dan TIK. Nama Khairul Mufid, sahabat saya dari jurusan matematika menjadi mahasiswa peraih IPK tertinggi di tahun akademik 2015 dari 1947 mahasiswa semester akhir. Lihatlah kawan. Dan ini adalah daftar nama mahasiswa yang mendapat rekomendasi untuk ikut tes beasiswa di Jember,” tutur Anto dengan semangat menggebu. Tiba-tiba, Anto memeluk Khairul yang sedang terpaku melihat namanya sambil berkata penuh haru, “Selamat kawan. Barokallah, barokallah.”
Tanpa terasa mata Khairul berkaca-kaca dalam pelukan sahabatnya. Hatinya terus memanjatkan syukur pada Allah. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang dia lihat di papan informasi di depannya. Semua pengorbanan selama empat tahun tiba-tiba terputar kembali dalam ingatannya. Empat tahun dia berpacu dengan waktu, menumpahkan tinta di atas kertas putih, bergelut dengan buku-buku dan berpacu bersama jarak antara Dempo  dan Gangser. Dia merasa mimpinya sudah berada di depan mata, meski dia juga tahu, sesungguhnya perjuangannya baru saja dia mulai.
Azan zuhur dari masjid Al-Amin pun menggema, mengakhiri dari semua keramaian. Tentunya melanjutkan semua kebahagiaan dan syukur Khairul dalam dengkur do'a yang tersulam dalam rentetan kalimat tasbih. Alhamdulillah. Mata Khairul berkaca-kaca.
=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


Read More »

0 comments

Oleh: Rosidi Achmad*

SEMUA SANTRI pesantren Al-Fatah bersiap menuju tempat talim. Baju putih senada dengan kopyah dan sarung biru teduh yang mereka kenakan membuat pemandangan pesantren Al-Fatah tampak berbeda. Tangan-tangan mereka membawa  kitab dengan penuh tadzim. Wajah mereka memancarkan aura kebahagiaan. Sesekali mereka saling menyapa walau sekedar mengucap salam.
Seperti biasa, hari Minggu adalah jadwal kitab Talimul Mutaallim dan Bulughul Marom. Dua kitab itu menjadi wiridan Kyai Hamid setiap pagi. Ada banyak hikmah yang terkandung dalam kitab itu. Para santri begitu semangat untuk mengikuti kajian Beliau, meski hari ini Beliau tidak hadir karena masih ada di rumah sakit menemani putrinya, Fitria Yasmin. Beruntung, Zainuddin mengisi kekosongan waktu dengan membaca nadham-nadham Al-Fiyah. Suara santri mengalun merdu ke seluruh penjuru pesantren Al-Fatah.
Sedangkan Khairul kelihatan sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk kuliah. Dia memakai baju bermotif kotak-kotak lengan panjang dan celana warna hitam, saat semua santri memakai sarung dan baju putih. Itu semua dia lakukan untuk memenuhi kewajiban sebagai salah satu mahasiswa di pesantren Al-Amin: hari Jumat, sabtu dan seperti hari ini, minggu.
“Wah, Cak Khairul sudah pada siap berangat ke kampus Al-Amin,” tutur Surahman sambil memandang jam di atas lemari. “Sekarang kan masih jam enam pagi, kok pagi bener, Cak?” lanjutnya sambil melirik jam dinding.
“Hari ini saya harus berangkat pagi, soalnya takut telat. Sekarang hari minggu. Biasanya jika berangkat siang, di pasar Waru pasti macet. Apalagi hari ini adalah informasi mahasiswa yang dapat rekomendasi ikut tes beasiswa di Jember. Sekalian nanti saya mau ke kantor pos untuk ngirim naskah ke penerbit,” tutur Khairul dengan semangat. “O, iya, nanti jangan lupa masak nasi. Hari ini memang jadwal kamu masak, kan? Masalah sambal biar saya nanti yang beli pas sepulang dari kampus,” lanjutnya sambil meraih tas ransel di atas lemari lalu memasukkan naskah novelnya.
“Cak Khairul tenang saja. Serahkan semua pada saya, semoga namamu tercantum di daftar itu,” tegas Surahman sambil tersenyum cerdik. Khairul turut tersenyum, lalu dia pergi ke luar pondok menuju kampus kesayangannya, Al-Amin.
*****
Dia sabar menunggu. Wajah putih dengan mata bulat terbalut kerudung coklat itu jelas terlihat mempesona, walau sudah mengeluarkan keringat tipis. Dia berusaha berlindung dari sengatan matahari. Kulitnya yang tipis tidak mampu menahan cahaya mentari yang sudah mulai meninggi. Matanya terus memperhatikan beberapa angkot di jalan raya Waru. Jam menunjukan pukul Sembilan kurang tujuh menit, itulah yang dia tahu setelah melihat jam tangannya. Masyarakat yang datang dari berbagai daerah mulai memenuhi area pasar Waru. Pasar Waru adalah pasar tradisional terbesar di Kabupaten Pamekasan. Nama pasar itu diambil dari kecamatan itu sendiri, Waru.
Dia terlihat bahagia bercampur syukur saat mobil L300 datang. Mobil itu hendak bertolak dari pasar Waru menuju daerah Batu Bintang. Mobil itu adalah transportasi umum paling murah dan aman pilihan masyarakat. Dia naik ke mobil itu sambil menenteng dua plastik berukuran sedang. Dengan susah payah dia menuju kursi kosong di belakang. Akhirnya dia sampai juga. Dia mulai menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil sambil sedikit menarik nafas. Sesekali dia menatap sopir mobil yang akan membawanya menuju daerah Gangser dimana tempat dia tinggal. Matanya melihat  satu persatu penumpang di dalam mobil itu. Sekali lagi dia bersyukur, karena dia sendirian duduk di kursi paling belakang, walau sebenarnya masih bisa ditempati tiga orang lagi.
Asap rokok dari penumpang di kursi tengah membuat pernafasannya sedikit sesak. Ditambah bau ikan penumpang seolah menyengat hidungnya. Meski begitu, dia terus berusaha untuk nyaman, karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada yang dia lakukan kecuali pasrah dan bersyukur. Ya, bersyukur sebab dia masih beruntung bisa cepat menemukan angkot, karena bisa saja dia harus menunggu berjam-jam.
Tiba-tiba, seorang penumpang berbaju kotak-kotak masuk. Penumpang itu membawa buku tebal di tangan kanannya. Matanya memperhatikan ruangan mobil. Dia mencari bangku kosong untuk tempat duduknya. Akhirnya dia melihat bangku belakang di mana perempuan berkerudung coklat tadi duduk. Dengan susah payah pemuda itu menuju kursi. Ups, akhirnya dia sampai juga. Dia duduk di sebelah kanan perempuan tadi.
Mobil itu pun melaju menuju Batu Bintang.
Waru dan Batu Bintang adalah dua Kecamatan di kabupaten Pamekasan. Jarak dua kecamatan itu dua kilo meter. Dan bisa ditempuh kira - kira satu jam menggunakan transportasi umum. Desa Ponjanan dan Gangser akan mereka lewati baru sampai di daerah kecamatan Batu Bintang.
Di tengah perjalanan, pemandangan alam yang sangat indah akan memanjakan mata penumpang. Bukit-bukit nan elok dengan ribuan satwa cantik akan mereka lihat saat mereka berada di daerah Ponjanan. Tidak kalah indahnya saat berada di daerah Gangser yang terkenal akan sungai-sungai indah dan air terjun kecil. Itu semua bisa membuat mata siapa saja tidak berkedip ketika melihat keindahan yang terbentuk dari pahatan alam itu.
Para penumpang mobil L300 tidak menyianyiakan keindahan alam itu. Begitu pula dua orang penumpang di bangku belakang. Mereka sangat terpana melihat alam indah Madura dari jendela mobil. Tidak ada sapa menyapa, yang ada hanya merenungi diri, betapa Agung Kuasa Allah, hingga bisa menciptakan keindahan itu.
Apalagi penumpang berbaju kotak-kotak yang dari tadi begitu terpana pada keindahan itu. Dia melihat pohon-pohon seperti berlarian menjauh membelakangi mobil yang membawanya. Sesekali dia membaca buku di tangannya. Diam-diam, perempuan berkerudung coklat memperhatikan pria itu. Tanpa sepengetahuannya, pemuda itu bertanya, “Maaf, numpang nanya, kira-kira sekarang jam berapa?”
“Anu, sekarang,” perempuan itu sedikit kaget. Dia melihat jam tangannya. Lalu memandang pemuda itu. Kemudian berkata kembali dengan nada tenang, “Sekarang sudah jam sepuluh,” jawabnya singkat. Lalu kembali memandang keluar mobil.
“Maaf, sepertinya saya kenal Mbak,” ucap si pemuda. Perempuan itu kembali memandang wajah si pemuda. Dia tersenyum. Pemuda itu mengikutinya. Dia tidak melanjutkan membaca buku. Lalu berkata penuh bahagia, “Neng Hidayah. Kamu Neng Hidayah, kan? Teman Anisatul Adhawiyah jurusan tarbiyah itu?”
Hidayah berpikir sejenak. Dia memandang lekat-lekat wajah pemuda itu. Tiba-tiba pikrannya ingat saat hujan di masjid. Waktu itu ada mahasiswa membantu mencari buku Anis yang hilang. Dia tersenyum sambil bertutur, “Masya Allah, kamu Khairul Mufid. Pemuda yang sudi kehujanan untuk menolong dua orang perempuan yang belum kamu kenal ketika itu? Saya tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi. Bila boleh tahu, kamu tahu dari siapa nama saya?”
“Saya tahu dari sahabatmu, Anis.”
“O, Anis,” tukas Hidayah singkat.
“Kemaren saya bertemu dengan Anis. Lalu dia cerita banyak tentang Neng. Makanya saya tahu nama Neng adalah Hidayah binti Kyai Mukhtar pengasuh Ponpes Al-Amin. Pesantren di mana saya kuliah dan mengais barokah saat ini. Merupakan sebuah kebahagian bagi saya bisa berbicara dengan Neng Hidayah. Meski sejujurnya saya begitu merasa cangkolang.”
“Ai, jangan berlebihan seperti itu.”
“Maaf, Neng. Insya Allah, saya juga tahu  syarat untuk mendapat ilmu yang bermamfaat ada caranya. Pertama, kita harus menghormati ilmu kita. Kedua, menghormati kitab-kitab kita. Ketiga, kita harus menghormati guru kita. Nah, termasuk memulyakan guru kita adalah memulyakan keluarganya.”
Hidayah tertegun mendengar penjelasan Khairul. Dia merasa penyampaiannya sama dengan kitab Talimul Mutaallim. Kemudian Hidayah kembali bertanya, “Kalau tidak salah, saat kita pertama bertemu di depan masjid kamu bilang mau pulang ke pesantren, sebetulnya kamu nyantri di pesatren mana?”
“Saya nyantri di pesantren Al-Fatah Dempo. Pesantren yang nama pengasuhnya adalah Kyai Hamid.”
“Kamu putra Kyai Hamid?”
Khairul tersenyum mendengar pertanyaan Hidayah, lalu Khairul bertutur sambil menatap wajah Hidayah, “Mana mungkin orang seperti saya adalah putra Kyai. Saya hanya anak dari seorang petani yang kebetulan  nyantri di pesantren Al-Fatah. Di sana saya bukan siapa-siapa, ustaz pun bukan apalagi putra Kyai. Di pesantren saya hanya seorang santri biasa yang setiap harinya hanya melayani para santri dan menjadi tukang ngumpulin botol plastic bekas ketika di luar jam kegiatan pesantren.”
“Ah, jangan merendah seperti itu,” tutur Hidayah.
Khairul menyandarkan tubuhnya kekursi. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu dikeluarkan kembali. Sejenak dia memejamkan mata. Deru suara mobil L300 yang dia tumpangi begitu terdengar di telinganya.
“Khairul, kenapa diam?” selidik Hidayah, “Apakah ucapan saya membuatmu tersinggung?”
“Saya tidak bermaksud merendah diri,” tutur Khairul sambil memandang wajah Hidayah, “Jujur, saya sayang pada diri saya ini. Saya ingin membuat saya ini dipandang terhormat. Namun apa saya harus berbohong untuk membuat saya ini terhormat. Saya hanya ingin orang melihat saya apa adanya. Bukan karena saya keluarga dari orang terhormat atau sebaliknya. Menurut saya, hidup di atas kaki sendiri itu lebih indah, dari pada hidup di atas kaki orang lain.”
Jantung Hidayah berdetak hebat. Dia seolah menemukan hati yang lama hilang darinya. Entah kenapa dia ingin cepat sampai ke Gangser, saat dia ingat bahwa dirinya adalah seoarang wanita yang memiki pengetahuan tentang agama. Dan jelas dalam agama pria dan wanita memiliki batasan, tapi di sisi lain dia tidak ingin jauh dengan Khairul yang mampu membuat malamnya begitu panjang. Sosok yang mampu menggantikan Subhan tunangannya sendiri di hatinya. Dia ingin lebih dekat dan tahu tentang pemuda itu.
“O, iya, hari ini tidak ada jadwal kuliah?”
“Anu, saya nanti masuk sore,” jawabnya gelalapan, sambil matanya melihat tangan Khairul yang sedang memegang sebuah buku. Dia pun kembali bicara, “Wah, buku apa yang kamu pegang itu, skripsi, ya?”
“Buku ini bukan skripsi, tapi ini sebuah novel,” jawab Khairul bebas. Sebebas mobil L300 yang ditumpanginya  melaju di atas jalan aspal di daerah Ponjanan.
“Wah, boleh saya melihatnya?”
“Boleh,” jawab Khairul sembari menyodorkan novelnya.
Hidayah menerima novel itu. Dia tersenyum saat melihat judulnya. Khairul hanya memperhatikan Hidayah yang leluasa melihat lembar demi lembar novel yang ditulisnya. Hidayah kembali memandang Khairul sambil bertutur, “Wah, Idhafah Cinta, judulnya sangat unik. Kamu sungguh luar biasa sudah bisa menulis novel. Jadi penasaran ingin baca.”
“Neng Hidayah suka baca buku fiksi?”
“Mmm, jujur sih, sebenarnya saya kurang suka baca buku fiksi,” tutur Hidayah sambil tersenyum, “Tapi saya akan membaca karya mahasiswa Al-Amin di depan saya ini. Siapa tahu di kemudian hari saya ketularan dapat menulis sepertimu.”
“Ah, Neng Hidayah bisa saja.”
“Bisa dijelaskan bagaimana kamu bisa memiliki ide sebagus ini?”
“Judul itu terinspirasi dari kitab Al-Fiyah yang ditulis oleh syeikh Ibnu Malik. Tentu, Neng Hidayah tahu arti dari Al-Fiyah adalah seribu. Di kitab itu juga ada seribu bait dasar ilmu nahwu. Dan diantara seribu bait itu ada bab tentang idhafah. Idhafah adalah gabungan dari dua isim sehingga menjadi satu. Isim yang pertama adalah mudhaf, sedangkankan isim yang kedua disebut mudhaf ileh. Saya yakin Neng mengerti maksud saya. Nah, dari sanalah saya mendapat inspirasi menulis. Novel itu adalah pengembangan karya tulis ilmiah sebelumnya. Alhamdulilah karya tulis ilmiah itu mendapat juara dua se-Madura. Lumayan, kan? Judulnya Modernisasi Sistem Pembelajaran Nahwu dan Bahasa Inggris di pesantren. Nah, atas dasar itu, saya mencoba mengembangkannya dalam bentuk novel. Isinya mengupas tentang pentingnya Nahwu dan bahasa Inggris di masa kini. Bahkan saya menyuguhkan dua latar dalam novel itu, yaitu Madura dan Bali. Novel itu adalah novel pendidikan dan budaya tentu dengan bumbu cinta ala pesantren. Dengan tokoh utamanya saya beri nama Yusuf. Nama itu saya tulis untuk mengenang nama seorang nabi, nabi Yusuf yang baik dan amanah,” tutur khairul panjang lebar.
Mobil L300 terus melaju di atas jalan Ponjanan. Mobil itu seperti membelah udara panas. Begitu pula dengan Hidayah yang terus bertanya pada Khairul, “Kenapa kamu tidak kirim ke penerbit?"
“Tadi saya memang berencana seperti itu, tapi kantor pos Waru masih tutup.”
“Kamu serius saya boleh membacanya?”
“Silahkan, nanti saya minta pendapat, Neng. Gimana?”
“Baiklah, saya akan mencoba membacanya,” tutur Hidayah.
Hidayah mulai membuka halaman pertama. Kata demi kata dia baca dengan hikmat. Entah kenapa dari alinea ke alinea lainnya. Dari halaman ke halaman selanjutnya dia merasa mengalir bersama alur dalam novel itu. Dia mulai merasa bahwa dia menjadi tokoh utama dalam novel itu. Tak urung dia ikut sedih saat tokoh Yusuf dikiaskan dalam kesedihan. Dan turut bahagia saat Yusuf bahagia. Membaca novel itu, perasaan Hidayah ikut mengalir dan melaju tanpa henti. Seperti mobil yang dia tumpangi yang terus melaju menuju daerah Batu Bintang dengan tenang.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


Read More »

0 comments

Oleh: Rosidi Achmad*

Seorang gadis dengan sorot mata indahnya terus menatap bulan yang hampir tertutup awan. Dia rela berselimut udara dingin, sambil menyaksikan gerimis turun membasahi halaman rumahnya. Jubah coklat teduh dan jilbab ungu melindunginya dari dingin malam. Itu semua dia lakukan untuk merenungi betapa tunduk bulan pada Sang Ilahi Robbi. Bulan yang tidak pernah mengeluh saat diperintah untuk menerangi malam. Bulan yang selalu teratur mengelilingi bumi serta mengelilingi matahari bersama bumi.
Dia sadar dan yakin. Keteraturan itu terjadi bukan dengan tiba-tiba. Ada dzat Maha Sempurna yang mengatur bagaimana malam dan siang berganti. Mengatur bagaimana bumi dan planet-planet berputar. Mengatur bagaimana langit membentang tanpa tiang. Dan mengatur bagaimana gunung tinggi menjulang. Tidak ada makhluk yang mampu melakukan itu, apalagi manusia. Sifat manusia yang dhaif tentu menjadi alasannya. Dia-lah Tuhan semesta alam yang mampu melakukan itu.
"Astaghfirlah!" gadis itu membaca istighfar di tengah rasa kagumnya atas kuasa ilahi Robi. Alangkah luar biasa Tuhan menciptakan ini semua. Itu adalah satu bukti. Tuhan itu satu. Bagaimana mungkin keindahan bulan diciptakan oleh dua Tuhan. Tuhan satunya menciptakan Bulan dan tuhan yang kedua hanya berpangku tangan, misal. Alhasil, kelak akan terjadi perselisihan. Tuhan yang lain merasa paling berkuasa. Bila sudah sedemikian, maka tidak ubahnya dengan makhluk. Hanya Tuhan yang satu, dan tak mungkin ada duanya. Selamanya akan tetap satu.
Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan  yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Hanya dengan berpikir seperti itu dia sedikit menemukan kedamaian. Memang, pikirannya tidak tahu arah, hingga membuat dia berada di antara GEGANA alias gelisah, galau, merana. Itu semua terjadi sebab seraut wajah selalu membayanginya. Dan kini pikiran yang selalu merasa damai dengan kesendirian, telah terpaut pada seraut wajah yang enam hari lalu telah menjajah hatinya. Dia tertawa geli dan tersenyum-senyum sendiri, saat dia mengingat pria itu menyebutkan  namanya di tengah hujan, Khairul, nama saya adalah Khairul Mufid, itulah kata terakhir yang masih melekat di memorinya. Ah, inikah getaran cinta? Ataukah hanya sebatas rasa kagum semata? Seperti itu pertanyaan yang sering muncul saat gadis itu merenung menatap bulan.
“Hidayah, ummi perhatikan dari tadi kamu senyam-senyum sendiri. Kalau ummi boleh tahu, kamu sedang mikirin apa, Nak?” tanya Nyai Halimah. Dia duduk di samping Hidayah, “Udara begitu dingin. Tidak baik berada di teras rumah. Nanti masuk angin lagi. Masuk saja ya, Nak....” tambahnya.
“Mmmm, ummi, saya hanya ingin memandang bulan,” jawab Hidayah manja.
“Wah, mandang bulan kok sambil senyum-senyam seperti itu?”
Hidayah hanya diam. Dia merasa  ibunya bisa membaca apa yang dia rasa.
“Atau di bulan itu terlukis sesosok wajah yang mampu membuat anak ummi ini tersenyum sendiri dari tadi?” tanya ibu Hidayah sambil memandang bulan. Lalu kembali memandang Hidayah dengan senyum yang kemudian Hidayah turut tersenyum kembali sambil memandang wajah ibunya. Kepalanya mulai dia rebahkan di pangkuan ibunya. Kedua matanya tetap memandang bulan sambil menikmati belayan lembut seorang ibu yang penuh kasih sayang. Kemudian ibu Hidayah kembali bicara, “Nak, setiap insan di dunia pasti memiliki rasa cinta. Banyak orang yang menjadi hebat sebab karena cinta, tapi tidak sedikit pula yang hidupnya hancur oleh karena cinta. Cinta memang aneh, nak. Lihatlah Islam tumbuh seperti yang kita rasakan ini oleh karena cinta. Yang cinta itu tumbuh dari nabi Muhammad pada ummat manusia. Dan lihatlah kehancuran dan kerusakan oleh karena cinta. Manusia yang menghamba pada kepalsuan yang semua itu muncul karena cinta mereka pada keburukan dan kesesatan. Lihatlah! Berapa banyak bayi yang terbunuh. Begitu banyak seorang anak  tega membunuh ibu kandug mereka sendiri, itu semua terjadi karena cinta.”
“Ummi, tapi dia beda.”
“Beda?” tanya Nyai Halimah, “Maksudmu, dia bukan Subhan Rosyid, kan?” lanjutnya.
Hidayah mengangkat kepalanya dari pangkuan ibunya. Dia merasa menyesal atas pengakuannya, dia gelisah mencari jawaban. Terbesit dalam hatinya untuk berbohong, tapi dia tidak bisa melakukan itu, apalagi di depan ibunya sendiri. Dia memilih diam tanpa bahasa sambil menatap halaman yang sudah basah sebab gerimis  berkepanjangan.
“Nak, tatap wajah ummi,” tutur ibunya sambil mendongakkan wajah Hidayah, “Siapa pria itu, Nak? Jujur pada ummi. Bukankah kejujuran akan mendatangkan kebaikan dan kebohongan akan mendatangkan kemudaratan.”
Hidayah kembali menatap bulan yang kini sudah benar-benar bersembunyi di balik  awan. Lalu menjawab pertanyaan ibunya, “Dia adalah Khairul Mufid.”
“Khairul Mufid” selidik ibu Hidayah, “Dari mana pemuda itu?”
Hidayah kembali merebahkan kepalanya di pangkuan ibunya. Ibunya mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba Hidayah kembali mengingat  saat Khairul berlari di bawah hujan untuk mengejar mahasiswi yang membawa buku Anis. Saat Khairul memberikan buku itu di depan masjid juga dia ingat. Semua terputar kembali dalam ingatannya. Beberapa saat kemudian, Hidayah pun kembali bicara, ”Saya tidak tahu dia dari mana, tapi Saya melihat ketulusan dalam pemuda itu begitu besar. Saya juga merasa dia sangat peduli dan bertanggung jawab.”
“Nak, kamu tidak bermaksud untuk berusaha melupakan tunanganmu, Subhan Rosyid?”
Mendengar pertanyaan itu, Hidayah langsung menatap wajah ibunya. Dia mulai bingung. Sejuta beban yang ada dalam pikirannya membuat hatinya turut berat. Dia tidak ingin membuat orang tua yang sangat disayanginya kecewa. Selama ini, dia selalu berusaha untuk membuat kedua orang tuanya selalu tersenyum dan bangga memiliki putri seperti dia, meski dia harus mengorbankan perasaannya. Dia tidak menyukai tunangan pilihan orangtuanya, hanya saja dia tidak mampu mengungkapkan pada mereka. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang merembes diantara kedua matanya.
“Hidayah, rizki, jodoh dan ajal semua Allah yang menentukan. Kita sebagai manusia hanya bisa berikhtiyar dan berdoa. Ummi dan Abahmu tidak memandang status pria yang akan mendampingimu kelak. Ummi hanya bisa berdoa semoga kamu mendapat jodoh yang baik. Yang bisa memimpin dirimu dan memimpin pesantren ini kelak. Saat Ummi dan Abahmu sudah tiada.”
Hidayah tertegun mendengar penuturan ibunya. Dia memeluk ibunya erat-erat. Beberapa kali Hidayah mencium pipi ibunya yang selama ini mengasuh tampa pamrih. Matanya semakin berkaca-kaca. Begitu pun Nyai Halimah yang turut meneteskan air mata. Dia begitu peduli dengan putri satu-satunya itu. Mereka terus berpelukan menghayati kearifan sebagai seorang ibu dan sebagai seorang anak. Mereka tak mampu menahan tangis bahagia. Gerimis yang semakin deras turun dari langit malam seakan menjadi saksi tangis bahagia mereka.
****
Semangkok bubur terlepas dari genggaman tangannya. Badannya terasa tak bertulang. Jantungnya seakan tak berdetak. Dia ingin berteriak, tapi tak mampu bersuara. Dia ingin berlari memeluk anaknya, tapi kekuatannya sudah sirna. Dia hanya bisa melihat pasrah darah keluar dari hidung putri kesayangannya, Khotijah.
“Astaghfirlah, astaghfirlah, ada apa?” tanya Kyai Hamid sambil memopong tubuh istrinya, “Apa yang terjadi, Ummi?”
“Abi, anak kita. Anak kita Khotijah. Ada darah keluar dari hidungnya,” jelasnya sambil menghela nafas, “Cepat panggil dokter, Bi,” pintanya cemas.
Kyai Hamid langsung melihat keadaan Khotijah. Kekuatannya tiba-tiba lemah. Sajadah di bahunya pun jatuh tak terasa. Dia berusaha kuat di tengah sisa tenaganya. Air matanya kembali membasahi kedua pipi yang tak lagi kencang itu. Kedua tangannya berusaha meraih kepala Khotijah. Jemari tangan kanannya membersihkan darah yang keluar dari hidungnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berdoa yang tersirat dalam hati kecilnya, Ya Allah, ampuni dosa putri hamba. Janganlah Engkamu memberi cobaan yang tak mampu dia tanggung.
Seorang suster masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat keadaan Khotijah yang wajahnya sudah pucat pasi dengan darah mengalir di hidungnya. Berselang kemudian, dokter Ruslan dengan dua orang perawat turut hadir memeriksa Khotijah. Seorang perawat menghampiri Kyai Hamid dan istrinya yang tak kuasa meneteskan air mata.
“Kyai dan Nyai sebaiknya berada di luar ruangan. Biar kami dan dokter Ruslan yang menangani putri Kyai. Doakan Insya Allah kami akan memberikan yang terbaik.”
“Tidak, dok. Saya tidak ingin meninggalkan putri saya. Dia sedang sakit dan menderita,”  Nyai Ainiatul hasanah mengiba, “Saya tidak sudi dia ditinggalkan sendirian. Biarkan saya bersamanya!”
“Istighfar Ummi,” pinta Kyai Hamid sambil memeluknya, “Jangan buat abi ragu pada kuasa Allah dengan sikapmu ini. Kuatkan hatimu menghadapi cobaan ini. Allah Maha Melihat dan Maha Tahu.”
“Abi, putri kita baik-baik saja, kan?” tanya istrinya dengan nada sedih. Sementara Kyai Hamid dengan mata berkaca-kaca menatap wajah istrinya yang penuh akan air mata, “Pasrahkan semua pada Allah. Mari kita keluar dari ruangan ini. Biarkan dokter Ruslan yang menangani putri kita. Kuatkan hatimu ummi. Semua pasti baik-baik saja.”
Setelah dibujuk, Nyai Ainiatul Hasanah mau keluar. Dia terus menatap wajah Khotijah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang di sepanjang langkahnya menuju ke luar ruangan. Air matanya terus menetes. Dia seolah merasakan sakit seperti rasa yang diderita putri satu-satunya itu.
Layaknya seorang ibu, Nyai Ainiatul Hasanah sangat mencitai Khotijah. Cintanya begitu tulus. Setulus cinta seorang rasul pada ummat manusia. Cinta itu begitu kuat. Baginya, dia adalah hidup dan matinya. Dan tidak ada kekuatan cinta, kecuali cinta Nyai Ainatul Hasanah pada putrinya, Khotijah.
=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan dan penulis Novel Pesan Keramat sekaligus Direktur KME.


Read More »

0 comments

Oleh: Rosidi Achmad*

SEMUA MATA santri Al-Fatah tertuju pada Zainuddin  yang sedang memegang piala. Dia meraih juara satu lomba baca kitab tingkat nasional di Jombang. Semua pesantren di Indonesia mengikuti lomba itu. Seluruh santri dan Kyai Hamid bangga memiliki santri seperti dia. Kebahagiaan itu turut terlukis di wajah Khairul Mufid. Kebahagiaannya tampak dari kedua matanya yang berkaca-kaca. Semua jerih payah dan pengorbanannya tidak sia-sia. Kini dia bisa membuktikan, bahwa tidak ada yang tidak mungkin bila usaha dan doa masih ada. Kebahagiaan Khairul semakin bertambah, saat Zainuddin maju ke atas podium. Kyai Hamid menyuruhnya memberikan sepatah kata pada seluruh santri. Zainuddin mendekati pengeras suara. Dia mulai mengucap salam. Semua santri termasuk Khairul menjawab salamnya. Lalu Zainuddin mulai berbicara,
“Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya. Hari saat saya diberi nikmat yang begitu besar oleh Allah. Allah memberikan kesempatan pada saya untuk mencicipi nikmatnya menjadi seorang pemenang. Meski begitu, saya selalu ingat kata-kata dari seseorang. Pemenang sesungguhnya, adalah orang yang mampu memiliki jiwa pemenang. Orang yang memiliki jiwa pemenang adalah bersyukur saat dia jadi pemenang. Lalu kembali lagi ke arena tempur untuk kembali mempertahankan kemenangan itu,”
“Ribuan terimakasih ini saya ucapkan untuk semua ustaz, jajaran pengurus pesantren, dan seluruh santri yang tidak mungkin saya sebutkan namanya satu persatu, dengan tidak mengurangi rasa terimakasih saya, wabil khusus ila mudirul mahad, Kyai Hamid. Perkenankan pula saya mengucapkan terima kasih pada seorang santri. Dia adalah penyemangat saya. Bahkan kemenangan ini sesungguhnya adalah milik dia. Santri yang selama Sembilan tahun mengabdi dan mendidikasikan dirinya untuk kita semua. Santri yang selalu menyisakan waktu mengumpulkan botol plastik di tengah jam kuliahnya untuk mengumpulkan dana, agar program kitabiyah tetap berjalan. Santri yang selalu melayani kami siang dan malam. Menjadi payung saat hujan. Menjadi pohon yang meneduhkan saat panas datang. Semangatnya tidak pernah pudar untuk mengabdi pada semua santri. Dia seperti mentari yang menyinari dunia atau seperti batu karang di lautan lepas yang tidak pernah berubah dan mengeluh di laut lepas. Ya, santri itu adalah Cak Khairul. Terimakasih atas kesudianmu menjadi ketua pengurus bagi kami. Kau selalu memberikan yang terbaik bagi kami. Dan kau selalu mengedepankan kepentingan santri dari pada dirimu sendiri. Sebagai tanda terima kasih kami pada mu, tropi kemenangan ini saya serahkan pada mu, Cak.”
Suasana kebahagiaan dan tangis kecil bercampur menjadi satu. Tidak ada suara yang keluar. Kecuali tangis kecil dari sebagian santri dan suara kipas angin yang berputar. Seluruh santri menjadi saksi akan sebuah perjuangan. Sepanjang apapun lintasannya, pasti ada garis finish-nya. Seberat dan sesulit apapun beban, bila kebersamaan dan ikhlas mencari ridho Allah masih ada, pasti akan terasa ringan. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepiaan. Di balik kesusahan pasti ada kebaikan.
Kini para santri berdiri sambil bertepuk tangan, saat Zainuddin meninggalkan podium utama. Khairul Mufid yang berada di depan podium turut berdiri dan bertepuk tangan. Dia merasa air mata kebahagiaannya semakin terasa. Tangis kecil dan senyum menyatu di raut wajahnya. Sesekali jemarinya menyeka airmatanya.
Zainuddin terus berjalan sambil membawa tropi kemenangannya. Itu semua Khairul saksikan dengan jelas. Zainuddin menuju Khairul yang tersedu dalam kebahagiaannya. Khairul menunggu dengan hati berdebar-debar.
Gemuruh tepuk tangan tiba-tiba berhenti sejenak. Zainuddin memberikan tropi yang dia pegang pada Khairul. Lalu melihat wajah Khairul. Pandangan mereka bertemu dalam satu tatapan. Khairul meraihnya. Zainuddin berkata sambil tersenyum bercampur tangis kecil, “Cak, tropi ini adalah milikmu. Ambillah.”
Khairul mengambil tropi itu, lalu dia memeluk Zainuddin.
Takbir tiba-tiba bergemuruh dari salah satu santri. Ruangan pun ramai dengan takbir sebagai salah satu syukur. Kyai Hamid meneteskan air mata, begitu pula H. Khairul Anwar Lubis turut larut dalam suasana itu. Mereka bahagia melihat Zainuddin dan Khairul yang telah memberikan angin segar pada pesantren yang dipimpinnya lewat prestasi yang mereka raih.
****
Setelah menghadiri acara penyambutan, Kyai Hamid beserta keluarganya bergegas menuju rumah sakit umum Pamekasan. Mereka menjenguk putrinya yang sedang sakit. Hampir satu tahun putrinya terbaring tidak berdaya di ruang ICU. Kebahagiaan dan keceriaannya seolah sirna, semenjak putrinya menderita karena menanggung penyakit di tubuhnya. Beliau tidak lagi memandang cahaya kasih sayang dari dua mata putrinya. Beliau juga tidak dapat mendengar suara putrinya yang khas. Hari-harinya begitu hampa tanpa putri kesayangannya, Fitria Yasmin.
Setiap kali Kyai Hamid memandang Yasmin, pasti kedua matanya berkaca-kaca. Doa pun tidak pernah berhenti Beliau panjatkan. Mengharap keajaiban datang dari Sang Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, agar putri kesayangannya kembali sehat. Beliau ingin melihat wajah putrinya berseri seperti dulu kala.
Bila tanpa cahaya iman dalam dadanya, mungkin Beliau akan mengakhiri hidup, tapi Beliau juga tahu seperti apa orang yang beriman dan tidak beriman. Seperti apa orang yang waras dan tidak waras. Hatinya selalu yakin, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan ummatnya. Semua sudah ada takarannya masing-masing. Itulah yang membuat Beliau begitu tangguh menghadapi semua cobaan, bahkan membuat Beliau mampu tersenyum walau hatinya meronta dan menjerit akan keadaannya.
“Fitri, kamu harus kuat, Nak,” tukas Nyai Ainiyatul Hasanah sambil memberi kecupan di kening putrinya, “Ummi dan abah selalu bersamamu.”
“Ummi benar. Kamu harus kuat. Allah sedang menguji kekuatanmu, bila kamu mampu melewati ini dengan sabar, Allah akan memberi pahala tak terhingga padamu,” imbuh Kyai Hamid sambil memegang bahu istrinya, Nyai Ainiyatul Hasanah.
Tok…! Tok…!Tok…!
Tiba-tiba seorang perawat masuk. Mereka berhenti berdialog yang baru saja tercipta. “Assalamualaikum,” perawat itu mengucap salam.
“Waalaikum salam,” jawab Kyai Hamid dan Nyai Ainiatul Hasanah hampir bersamaan.
“Maaf mengganggu, dokter Ruslan meminta pihak keluarga pasien Fitria Yasmin untuk menghadap ke ruangannya.”
Kyai Hamid hanya menganggukkan kepala.
“Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum,” ucap perawat itu menutup pembicaraan.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarkatuh.”
“Ya sudah, abah saja yang menghadap pada dokter Ruslan,” pinta Nyai Ainiyatul Hasanah sambil menyeka air matanya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Kyai Hamid langsung menuju ruangan dokter Ruslan.  Di tengah langkah tangguhnya, Beliau terus berdoa. Rasa kesedihan terukir jelas di wajahnya. Sesekali Beliau membuka kopyah putihnya, berharap ketenangan masuk. Seketika itu juga Beliau sadar, bahwa apa yang Beliau lakukan tidak bisa mengurangi masalah. Beliau pun membaca shalawat dalam hatinya. Berharap ketenangan hati dan keyakinan pada semua masalah adalah dari Allah.
Beliau pun mulai mengetuk pintu yang terbuka sedikit, memperlihatkan keadaan seseorang di dalam ruangan. Ada orang di dalam memperkenankan Beliau masuk. Beliau membuka pintu dengan pelan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,”  balas dokter Ruslan sembari berdiri memberi hormat, “Mari silahkan duduk, Kyai.”
Meski berat Kyai Hamid turut tersenyum, “Bagaimana saya bisa duduk, sedangkan dokter berdiri.”
Dokter Ruslan tertawa kecil. Mereka berdua pun sama duduk. Dokter ruslan mulai membuka pembicaraan, “Kyai, saya juga bahagia mendengar santri Kyai mendapat juara satu lomba baca kitab tingkat nasional di Bogor.”
“Al-hamdulillah.”
“Saya tambah yakin, bahwa di balik kesusahan pasti bersama kebahagiaan bila kita terus berikhtiyar dan tawakal. Santri Kyai adalah buktinya. Mula-mula pasti santri itu musakkat, tapi kesabaran dan kerja kerasnya bisa memetik buahya.”
Kyai Hamid hanya tersenyum mendengar pujian dokter Ruslan. Beliau paham betul, itu semua hanya untuk menghibur dirinya. Bagaikan nasi menjadi bubur. Semua sudah tidak ada gunanya. Beliau merasa ruangan megah itu begitu sempit. Pendingin ruangan seolah berubah menjadi panas. Semuanya terasa berat bagi Beliau. Di tengah keadaan itu Beliau mencoba tenang dan mulai membuka pertanyaan, “Maaf dok, sebenarnya apa maksud dan tujuan dokter memanggil saya kesini?”
Dokter ruslan menghela nafas. Berat baginya untuk mengatakan penyakit yang tengah menggerogoti pasieannya itu, tapi bagaimanapun itu adalah tugasnya, “Ini mengenai penyakit putri Kyai,” dokter mulai membuka pokok pembicaraan.
“Katakan saja dok,” potong Kyai Hamid, “Saya sudah siap dan menerima kenyataan ini.”
“Saya ingin memberikan hasil pemeriksaan putri Kyai, Fitria Yasmin,” ucap  dokter Ruslan. Sambil menghaturkan amplop dengan wajah tertunduk.
Wajah Kyai Hamid langsung terlihat pasi. Seluruh badan Beliau gemetar. Semua kenangan bersama putrinya terputar kembali. Kenangan saat menggendongnya di waktu kecilnya. Kenangan saat tidur bersama. Kenangan saat melaksanakan kewajibannya sebagai hamba. Baginya, Yasmin adalah sesuatu paling berharga dalam hidupnya.
Tangan kanan Beliau mulai meraih amplop itu. Hatinya membaca basmalah berkali-kali, berharap ketenangan masuk ke dalam hatinya. Segera Beliau mengambilnya. Tanpa membuang waktu Beliau langsung membacanya.
“Itulah hasil yang kami peroleh dari hasil pemeriksaan putri Kyai,” ucap dokter Ruslan.
Kyai Hamid terkejut. Kedua matanya berkaca-kaca. Tubuhnya terasa tak berpijiak di atas bumi setelah membaca tes laborat dari dokter Ruslan.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


Read More »

0 comments

Oleh: Rosidi Achmad*

Siang itu, awan di atas tanah Desa Gangser terlihat mendung. Segerombolan burung Walet terbang mengikuti arah mata angin, sambil berputar-putar di udara. Mereka saling mengejar satu sama lain dan memekikkan suara indah. Seindah gema azan zuhur dari menara masjid pesantren Al-Amin.
Masjid Al-Amin adalah masjid kebanggaan masyarakat Desa Gangser dan sekitarnya. Masjid itu bisa menampung puluhan bahkan ratusan jamaah setelah pengurus masjid merenovasinya tahun lalu. Ada dua lantai yang indah dan mewah. Lantai pertama untuk jemaah pria, sedangkan lantai kedua untuk jemaah wanita.
Para mahasiswa, santri dan jemaah terlihat sibuk dengan aktifitas akherat masing-masing; ada yang sedang melaksanakan shalat sunnah rowatib, dan  ada  pula yang membaca Al-Quran. Ayat demi ayat mereka baca dengan penuh hikmat. Kalamullah yang agung itu menggema di ruangan masjid. Suara mereka begitu indah terdengar, bahkan menyentuh hati insan yang mendapat petunjuk akan keindahan menjadi seorang hamba.
Tidak jauh beda di lantai dua, para santriwati dan mahasiswi turut berbangga hati menyambut datangnya waktu agung. Waktu dimana manusia dan Sang Pencipta tak ada hijab walau sehelai rambut. Itulah salah satu dari lima waktu yang Allah Swt., berikan kepada manusia. Sebagai bukti cinta-Nya pada manusia, walau kadang meraka sendiri yang menyianyiakan cinta-Nya.
Para santri putri dan mahasiswi sangat terlihat anggun saat mengenakan mukena putih. Suasana damai dan tentram terasa di ruangan itu. Mereka seolah bidadari dari langit yang menebar pesona pada setiap insan yang melihatnya. Di tengah-tengah  mereka turut hadir putri Kyai Mukhtar, Hidayah. Dia adalah mahasiswi semester lima jurusan Tarbiyah. Dia begitu semangat mengikuti kajian abahnya. Kesadarannya begitu kuat, bahwa manusia mendapat ilmu bukan sebab keturunan, tapi dengan usaha belajar giat dan doa.
Mereka membaca zikir sambil menunggu Kyai Mukhtar datang untuk menjadi imam. Memang, setiap hari dia selalu menjadi imam saat sholat zuhur sekaligus memberikan kajian usai sholat. Kitab tafser jalalin yang menjadi pilihan. Kitab yang merupakan tafser Al-Quran yang agung.
Iqomah pun berkumandang.
Semua jemaah masjid Al-Amin membentuk barisan saf dengan rapi. Saf yang menyerupai barisan prajurit perang yang siap tempur: kuat, kompak dan serasi. Kyai Mukhtar sebagai imam mengucap takbir. Para mamum mengikutinya.Tidak ada suara terdengar, kecuali suara lima kipas angin yang berputar di atas langit-langit masjid.
Para hamba Allah itu merasa sang Khaliq dekat, bahkan lebih dekat dengan urat leher mereka. Kedamaian, ketenangan, dan ketentraman terasa mengalir begitu saja. Seperti mengalirnya setiap rukun yang mereka laksanakan dalam shalat.
Usai melaksanakan shalat zuhur, zikir bersama dan shalat sunnah, mereka tetap duduk bersila. Semua mata tertuju pada Kyai Mukhtar. Sesuai jadwal hari ini, Beliau akan memimpin kajian. Tafsir Jalalin menjadi kitab pilihan. Beliau menyuruh membuka surat Athaalaq ayat dua sampai tiga.  Beliau mengucap salam. Semua santri dan mahasiswa menjawab serentak. Beliau mulai membaca arti sebuah ayat:
“……..Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Pengasuh muda itu terus menjelaskan kandungan ayat athaalaq dengan detail dan jelas. Para santri dan mahasiswa mendengar dengan penuh semangat. Di tengah-tengah mereka juga hadir seorang mahasiswa Matematika, Khairul Mufid. Dia tidak hanya mendengar ceramah Kyai Mukhtar, tapi juga mencatat setiap kandungan-kandungan penting dari ceramah Beliau. Kesemangatan itu menyebabkan dia tidak sadar, bahwa kajian sudah usai.
Semua mahasiswa keluar dari masjid.
Ketenangan dan kebahagiaan terlihat jelas di seluruh wajah jemaah masjid Al-Amin, begitu juga yang di rasakan oleh Hidayah beserta dua sahabatnya: Anisatul Adhawiyah dan Fadilah. Penyampaiaan Kyai Mukhtar mampu menyihir semua santri dan mahasiswa untuk terus berusaha meraih mimpi dengan jalan taqwa sebagai pijakannya.
“Neng Hidayah, abahmu memang sangat alim, deh,” Anisatul Adhawiyah berucap, sambil melipat rukuhnya, lalu memasukan ke dalam tas ukuran mini.
“Tentu, namanya juga Kyai,” imbuh Fadilah, “Di mana-mana Kyai itu pasti alim.”
“Anis, Fadilah, jangan bicara seperti itu,”  tutur  Hidayah datar, “Abah seperti itu bukan semata-mata karena menjadi Kyai. Semua yang abah dapat adalah hasil kerja keras dan berdoa. Abah juga pernah bilang pada saya, bahwa usaha tanpa doa adalah kesombongan. Doa tanpa usaha adalah kemustahilan. Usaha yang diiringi dengan doa adalah sebuah keindahan keimanan.”
“Kalau boleh tahu?” Anis bertanya kembali, “Apakah pria idaman Neng kelak harus memiliki sifat seperti abah Neng?”
Fadilah tersenyum. Lalu memandang wajah Hidayah yang sedang tertunduk.
Mendengar pertanyaan Anis dan Fadilah, wanita yang begitu menjaga jarak dengan kaum adam itu juga memandang wajah dua sahabatnya. Dengan wajah begitu ceria Hidayah menjawab, “Saya hanya ingin memiliki imam yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab dan mensyukuri dirinya sebagai hamba. Hamba yang menuntun saya untuk selalu memuji Ilahi. Menuntun saya menuju jalan yang diridhoi-Nya. Membangun rumah tangga yang dapat berguna bagi sesama. Di atas fondasi aliran cinta yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Siapa pun dia, akan saya jadikan imam keluarga kecil saya yang pertama dan terakhir dalam hidup. Selamanya.”
“Subhanallah,”  ucap Fadilah, “Jadi teringat sebuah lagu yang bejudul cintai aku karena Allah.”
Mereka tertawa kecil dan tidak mungkin tertawa lepas, agama melarang hal itu.
“Terus, bagaimana dengan si Subhan?” tiba-tiba Fadilah bertanya tentang tunangan Hidayah, “Apakah dia adalah sosok pria seperti yang Neng idamkan?”
“Menurut saya, dia tidak cocok denganmu, Neng,” lanjut Anis, “Apalagi saya dengar di malang dia sangat, Ih, tahu lah, jadi eneg bila ingat namanya.”
Hati Hidayah terguncang mendengar perbincangan dua sahabatnya. Apalagi dia juga tahu sifat Subhan di kampusnya. Sesungguhnya dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Dia ingin melupakan tunangan pilihan kedua orang tuanya, tapi dia tidak berdaya saat teringat akan kebahagiaan mereka.
“Astaghfirlah. Tidak baik bicara seperti itu, apalagi di dalam masjid. Sahabat-sahabat yang baik hati. Kita tidak boleh menilai seseorang, karena orang itu belum tentu lebih buruk dari kita. Dan saya yakin pria baik untuk wanita baik dan begitu sebaliknya. Makanya mulai saat ini saya ingin belajar menjadi wanita baik.”
"Astaghfirlah!" Tiba-tiba Anis juga membaca istighfar, "Maaf Neng. Saya janji tidak akan bicara seperti itu lagi."
Hidayah tersenyum, semua sahabatnya pun juga tersenyum.
“Sebaiknya kita pulang saja,”  usul Fadilah sambil memandang langit dari jendela masjid, “Kelihatannya semua orang sudah pada keluar. Apalagi awan sudah kelihatan mendung. Sepertinya hujan akan turun.”
"Iya kamu benar. Sepertinya hujan akan turun hari ini. Kita ke pondok saja, ya, Neng."
"Boleh."
Mereka pun menuju keluar masjid. Dengan penuh tatakrama mereka keluar masjid didahului kaki kiri. Allahumma inni asaluka min fadlika. Hidayah membaca doa dalam hatinya saat keluar bersama dua temannya.
Mendung di atas langit mulai pekat. Gemuruh halilintar semakin bertabuh. Tanda-tanda akan turunnya hujan semakin terasa. Cahaya mentari semakin terhalang awan hitam tebal. Hembusan angin semakin dingin terasa. Meski begitu, cahaya wajah Hidayah, Anisatul Adhawiyah dan Fadilah tetap memancar. Balutan hijab, dan pakaian islami yang mereka kenakan seolah menambah pesona kecantikannya.
Fadilah yang merupakan mahasiswi jurusan Matematika ingin mengisi waktu di tengah langkahnya. Dia merasa lebih baik berdiskusi dari pada hanya ngobrol. Fadilah berpikir sejenak. Lalu mulai berusul, “O, iya, giman kalau kita sambil berdiskusi?” Hidayah dan Anis memandang Fadilah. Diskusi pun dimulai:
“Permasalahannya seperti ini. Apakah kalian setuju bila semua benda dan isi bumi bergerak?” tanya Fadilah.
Mendengar pertanyaan itu, seketika Hidayah dan Anis berhenti melangkah.
“Anis apa kamu bisa menjawab?” tanya Hidayah.
“Insya Allah,” jawab Anis mantap.
Mereka kembali melangkah.
“Apa kalian tahu elektron?” Anis balik tanya.
“Mm, kalau tidak salah,” ucap Hidayah dengan nada sedikit ragu, “Elektron adalah partikel elementer.”
“Ya, Neng benar. Elektron adalah partikel elementer yang setiap saat tidak pernah berhenti berputar pada dirinya sendiri, bahkan jika ia berada di dalam atom, ia akan bergerak melingkari pusat atom, atau melakukan revolusi pada orbitnya. Nah, mungkin kalian sudah tahu, bahwa setelah itu, atom-atom itu akan membentuk sistem yang lebih besar yang disebut molekul, dan tentu kita juga tahu bahwa molekul inilah yang membentuk unsur-unsur maupun senyawa, berupa benda-benda yang tersebar diseluruh dunia, seperti kursi, meja dan barang-barang yang ada di sekitar kita.”
“Lho, mana ada? Buktinya buku ini diam,” bantah Fadilah.
Anis tersenyum, kemudian menjawab tegas tapi pelan, “Kata siapa mereka diam?”
Tiba-tiba, tidak ada sepatah kata yang terlontar, kecuali hilir mudik kendaraan di sekitar kampus. Hidayah dan Fadilah menunggu jawaban Anis. Beberapa saat Hidayah kembali bertanya dengan penuh penasaran, “Lantas, bagaiman kamu mengatakan hal itu? Mana buktinya? Apa kamu tidak lihat buku ini?”
“Iya saya ngerti maksud, Neng,” tutur Anis, memotong pertanyaan Hidayah, “Bukankah kita juga tahu, bahwa bumi ini berputar mengelilingi matahari, sedangkan kita dan benda yang lain ada di atasnya. Secara tak langsung kita dan benda-benda ini juga bergerak bersama bumi mengelilingi matahari. Jadi, semua tidak ada yang berhenti mutlak di alam semesta ini. Memang, buku itu seolah diam di hadapan kita, sebenarnya ia sedang bergerak mengelilingi matahari bersama bumi. Miliaran benda lainnya di atas bumi juga demikian, seakan akan mereka diam, padahal sedang dibawa oleh bumi mengelilingi matahari, bahkan juga menegelilingi pusat galaksi dan pusat superkluster.”
"Bolehkah saya bertanya sekali lagi?” pinta Hidayah, “Ngomong-ngomong kenapa benda-benda itu terus bergerak? Kapan mulainya? Kapan berhentinya? Dari mana energi gerak itu timbul dan untuk apa?”
Anis terlihat kesulitan untuk menjawab. Beruntung dia pernah mendengar keterangan tentang permasalahan yang Fadilah ingin diskusikan. Keterangan itu dia dengar dari ustaz Sulton, ketika di Madrasah Aliyah. Anis memperlambat langkahnya. Menjelaskan sedetail mungkin apa yang dia tahu.
Saya akan menjawab pertanyaan Neng secara beruntun. Pertanyaan  mu dari pertama sampai terakhir saling berkaitan,” jawab Anis dengan percaya diri, “Yang saya tahu dalam pengamatan teleskop Hubble yang ditempatkan di atas atmosfer bumi diketahui, bahwa seluruh benda langit di angkasa luar memang sedang bergerak saling menjauh. Ternyata, ini disebabkan ledakan besar yang terjadi pada awal penciptaan alam semesta yang dijelaskan dalam teori big bang. Nah, oleh sebab itu, seluruh material alam semesta terpental kesegala penjuru langit, insya Allah, sejak sekitar dua belas miliar tahun yang lalu hingga sekarang, bahkan hingga nanti sekitar tiga miliar tahun lagi, sebelum kemudian dilanjutkan dengan periode akhirat. Maka atas dasar itulah, energi alam semesta ini terjadi. Energi itu tersisa hingga sekarang, dalam bentuk putaran benda langit secara sendiri dan kolektif. Memang aneh, kenapa bisa berputar? Para ilmuan hingga sekarang yang saya tahu, masih belum menemukan jawaban, akan tetapi dengan berputar itulah keutuhan alam semesta ini terjaga. Ada gaya tarik menarik antara benda langit yang membuatnya seimbang dan tidak saling bertubrukan, karena semua benda di alam ini berpusat pada satu aturan yang harmonis.”
“Ternyata kamu cerdas juga,” puji Hidayah merasa takjub.
“Alhamdulillah, Neng. Semua jawaban tadi belum tentu sepenuhnya benar,” tutur Anis rendah hati, “Saya hanya mengingat saat saya duduk di bangku Madrasah Aliyah di Al-Amin.”
“Ternyata tidak sia-sia orang tuamu menyekolahkanmu,” imbuh Fadilah.
Anis tersenyum, Hidayah dan Fadilah turut tersenyum. Mereka semakin mempercepat langkah  menjauh dari masjid, sambil  lalu berbincang-bincang. Mula-mula Hidayah menyinggung tentang pengalaman saat duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di pesantren milik abahnya itu. Fadilah dan Anis menyimak cerita sahabat sekaligus orang yang mereka hormati. Bagi mereka, Hidayah adalah sahabat yang begitu menyenangkan. Tapi, mereka juga tahu, bahwa Hidayah adalah putri pengasuh pesantren di mana mereka nyantri.
Di tengah-tengah langkah mereka, Fadilah pamit diri. Ayahnya sudah datang menjemput.  Dia tidak lagi mukim semenjak lulus Madrasah Aliyah. Setiap jam kuliah ayahnya menjemput dan mengantarkannya. Sedangkan Anis sendiri masih mukim di pesantren Al-Amin.
Kini Hidayah dan Fifin melangkah menuju asrama tanpa Fadilah. Ada yang membedakan Hidayah dengan putri-putri pengasuh lainnya. Meski dia adalah putri pengasuh di pesantren Al-Amin, dia jarang tidur di kamar pribadinya. Tidak ada perbedaan kasta dalam agenda harian hidupnya. Kesederhanaan itulah yang membuatnya berhati lembut.
“Ya Allah, Neng, catatan buku hadist Tarbawi saya ketinggalan di masjid,” tiba-tiba Anis teringat pada bukunya, ”Saya harus membacanya malam ini. Besok saya UAS, Neng.”
“Ya sudah, mari kita kembali ke masjid. Nanti keburu hujan lagi,” usul Hidayah sambil memandang langit.
“Iya, Neng, mari. Sebelumnya makasih sudah mau membantu saya.”
Hidayah tersenyum simpul. Lalu menganggukkan kepala. Dia bisa membaca kecemasan tergambar di mata sahabatnya itu.
****
Di atas tanah pesantren Al-Amin lainnya. Seorang santri biasa masih saja berada di dalam masjid. Dia melaksanakan shalat sunnah mutlak, usai shalat sunnah badiyah lalu membaca shalawat. Dia membuka ulang buku catatannya untuk sekedar membaca semua materi dari dosen dan Kyai Mukhtar yang baru saja dia catat.
“Assalamualaikum.”
Santri itu menoleh sambil merubah posisi duduknya. Lalu memandang mahasiswi berjilbab putih yang tidak dia kenal namanya, dia berdiri di samping kanan. Santri itu tahu, pasti dia  dari jurusan Bahasa Inggris. Terlihat jelas tangannya menenteng kamus bahasa Inggris, apalagi dia memakai jaket bertuliskan, Al-Amin English Club (A.E.C). Santri itu pun menjawab salamnya.
“Sorry, ganggu, saya menemukan buku ini,” mahasiswi itu memperlihatkan buku bersampul kuning yang baru dia temukan, “Apakah buku ini milik Mas atau bila bukan, mungkin Mas tahu buku ini milik siapa?”
“Wah, saya tidak punya buku seperti itu,” jawab si santri, “Coba saja dibuka Mbak, siapa tahu di dalam terdapat biodata si pemilik.”
Mahasiswi itu mengikuti sarannya. Lembar demi lembar dari buku itu diteliti. Senyumnya terulas, “Ternyata buku ini milik Anisatul Adhawiyah. Dari  jurusan Pendidikan Agama Islam.”
“Mbak kenal pada pemilik nama itu?” santri itu bertanya.
“Tidak, Mas. Saya tidak kenal,”  jawabnya, “Mungkin lebih baik saya kembalikan ke tempat di mana saya menemukan. Kelihatannya buku ini catatan penting. Menurutmu bagaimana, Mas?”
“Mm, menurut saya lebih baik Mbak simpan buku itu dulu. Asalkan Mbak menjaga dengan baik. Jangan sampai rusak. Ya ngitung-ngitung dari pada jatuh ke tangan yang tak bertanggung jawab. Biar bagai mana pun, buku itu adalah tanggung jawab Mbak sebagai penemu buku itu. Nah, besok Mbak bisa membuat informasi di MADING kampus. Insya Allah saya akan membantu membuat informasi. Itu pun bila Mbak mau, gimana?”
“Mas benar juga. Baiklah,” mahasiswi itu memasukan buku itu ke dalam tasnya, “Kelihatannya hujan akan turun. Mas tidak mau pulang?”
Santri itu tersenyum. Lalu menjawab dengan santun, “Saya masih mau ngumpulin refrensi dari beberapa buku. Insya Allah sebentar lagi rampung.”
“Kalau boleh tahu, buat apa refrensi itu?”
“Biasa, buat bahan untuk tes program biasiswa di Jember. Siapa tahu saya lolos.”
“Wah, Mas sudah jadi sarjana. Saya doakan semoga lolos.”
“Amin. Terima kasih mohon doanya.”
“Kalau boleh tahu, apakah program beasiswa S2 itu dilaksanakan setiap tahun?”
“Bila masalah itu Mbak sebaiknya bertanya langsung ke fakultas. Yang saya tahu memang setiap tahun kampus kita ini akan mengeluarkan 20 mahasiswa terbaik untuk ikut seleksi.”
“Artinya, yang menentukan siapa yang ikut adalah kampus.”
“Mbak betul. Mahasiswa yang ingin ikut harus memiliki surat rekomendasi dari universitas Al-Amin.”
Mahasiwi itu menganggukkan kepala. Kemudian berdiri sambil tersenyum, “Ya sudah. Saya pulang dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarkatuh,” jawab santri itu. Lalu dia melanjutkan bacaan yang tadi sempat tertunda. Sambil menikmati udara dari lima kipas angin yang berputar di atas langit-langit masjid. Dia begitu tahu cara belajar ala kitab talimul mutaallim.
Tanpa dia sadari, waktu telah menunjukan jam satu sore. Sudah satu jam lebih dia berada di dalam masjid. Buku dan alat tulis, dia masukan ke dalam tas. Meski tugasnya sedikit terbengkalai, namun hatinya tergerak untuk melanjutkan di pesantren di mana dia nyantri.  Santri itu beranjak dari tempat duduknya. Lalu mengambil tas gendong yang telah menemaninya kurang lebih empat tahun. Segera dia melangkah ke luar masjid. Dia tidak ingin terlambat menghadiri acara penyambutan santri di pesantren dia nyantri sekarang, PP. Al-Fatah. Santri yang baru pulang dari Jombang dalam ajang lomba baca kitab tingkat Nasional.
Matanya menyisir sekitar masjid. Gerimis mulai turun dan membasahi tanah pesantren Al-Amin. Akhir tahun 2014 memang puncaknya musim hujan. Namun hal itu tidak merubah niatnya untuk tetap melaju menuju pesantrennya. Santri itu tetap membulatkan tekad. Dia melihat sepatunya. Sekilas, senyum kecil kembali terukir indah. Sudah tiga tahun sepatu itu menemani masa studinya. Mulai dari semester satu dulu, hingga semester akhir sekarang. Dia tetap saja memakai sepatu itu. Santri itu pun  melangkah pergi.
Sayup-sayup dia mendengar ada orang berteriak. Tiba-tiba, santri itu berhenti melangkah. Dia mencari asal suara yang terdengar sayub itu. Dua perempuan  yang  tak  lain Hidayah dan Anisatul Adhawiyah  melambaikan tangan di depan teras masjid. Santri itu ingin menyapa mereka. Tapi, Hidayah lebih dulu menyapa, “Apakah Anda menemukan buku di dalam masjid ini tadi? Karena sepertinya Anda baru saja keluar dari dalam masjid.”
Santri itu pun  menjawab, “O, tadi memang ada mahasiswi yang menemukan  buku. Kalau tidak salah warna sampulnya.”
“Kuning. Warnanya kuning, kan?” potong Anis spontan, tanpa ada jeda dalam kalimatnya.
“Mas, masih menyimpan buku itu?” tanya Hidayah khawatir.
“Tadi saya nyuruh mahasiswi itu untuk membawa bukumu,” jawab santri itu.
“Ya Allah, bagaimana ini, Neng?” tanya Anis sedih. Dia kembali duduk. Semangatnya kembali pudar.
“Setidaknya kita sudah tahu orang yang membawa buku itu,” jawab Hidayah sambil memandang Anis, “Tapi, apakah Mas kenal mahasiswi yang Mas maksud?”
“Kalau tidak salah, mahasiswi itu dari jurusan Bahasa Inggris,” ucap santri itu, meyakinkan Hidayah dan Anis, “Kalau namanya saya tidak tahu. Kalian tunggu saja di sini. Saya akan mencoba mencarinya. Siapa tahu dia masih tidak jauh dari sini.”
Hidayah tersenyum. Dia ingin menyampaikan sesuatu pada santri itu. Tapi Anis mendahuluinya. “Betulkah? Buku itu adalah catatan penting materi Hadits. Malam ini saya harus membacanya. Besok saya akan ikut ujian akhir semester. Sebelumnya terimakasih, Mas.”
“Ya sudah. Kalian tunggu saja di sini,” pinta santri itu. Lalu dia berlari mencari mahasiswi tadi di tengah gerimis yang semakin deras.
Anis semakin cemas. Dia hanya diam di samping Hidayah. Dia terus memanjatkan doa kecil dalam hatinya, agar buku catatan itu segera ditemukan. Hidayah terus menghibur Anis. Beberapa kali dia bergurau dengan sahabatnya. Dia ingin menciptakan suasana hidup di tengah kegundahan hati sahabatnya.
Namun, itu semua sudah tidak bisa merubah kegundahannya. Matanya terus memandang hujan yang semakin deras tanpa gairah. Beberapa kali Anis berprasangka bahwa santri itu tidak akan kembali membawa bukunya, apalagi dia baru mengenal santri itu. Baginya, tidak mungkin santri itu mau meluangkan waktu hanya untuk menolong mencari bukunya.
“Anis, lihat siapa yang datang?” pinta Hidayah.
Anis pun berdiri. Lalu berucap penuh semangat, “Alhamdulillah, pemuda itu datang.”
“Maaf Mbak lama menunggu. Abis hujan begitu deras,” ucap santri itu sambil menggigil kedinginan. Pakaiannya basah kuyub akibat terguyur hujan, “Ini bukunya saya bungkus dengan plastik. Soalnya takut kehujanan,” lanjutnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Anis menerima bukunya yang telah terbungkus plastik hitam. Lalu memeriksanya. Perasaan bahagia menunjak memenuhi hatinya. Senyumnya kembali terukir. Wajahnya kembali memancarkan aura kesemangatan. Dia terus berucap syukur sambil berterima kasih pada pemuda yang membantunya. Sedangkan Hidayah merasa ada sesuatu yang beda. Ada getaran yang menyelinap masuk ke relung hatinya entah dari mana datangnya. Dia terpaku melihat pemuda itu berbicara dengan Anis. Dari mata santri itu, dia melihat sebuah kesederhanaan dan keikhlasan. Dari tubuh yang basah kuyub itu, dia melihat kekuatan yang tiada tara. Hati Hidayah pun sejuk saat melihat santri itu. Sesejuk air hujan yang turun dari langit.
“Saya pamit pulung dulu. Lainkali hati-hati. Jangan sampai ketinggalan lagi,” tutur pemuda itu.
“Tunggu saja sebentar sambil nunggu hujan reda,” pinta Anis
“Di pesantren ada acara penyambutan santri yang datang dari Jombang. Sangat sayang sekali bila tidak hadir,” jelasnya berusaha meyakinkan mereka, “Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” jawab Anis, “Terimakasih, Mas.”
Santri itu mengangguk sambil tersenyum. Hidayah terus memandangnya. Rasa kagum Hidayah semakin besar saat dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang santri. Pemuda itu pun berlari di tengah guyuran hujan. Seketika Hidayah sadar dia belum tahu namanya, “Mas namamu siapa? tanya Hidayah.
Santri itu berhenti sejenak. Lalu melihat ke arah Hidayah dan Anis. Kemudian berucap di tengah hujan, “Khairul. Nama saya Khairul Mufid.”
Khairul kembali berlari. Hidayah pun tersenyum. Hari itu Hidayah menemukan lembaran baru dalam hidupnya. Dia terus memandang Khairul hingga hilang terhalang pagar dan gedung Universitas Al-Amin. Sedangkan Anis terus memeriksa bukunya dengan hati berbunga-bunga.
Itulah kehendak Allah Swt. yang sudah tertulis di Lauhil Mahfud. Tak ada satu pun yang luput dari pengawasan-Nya. Takdir baik dan buruk semua sudah termaktub. Termasuk, turunnya hujan yang membasahi tanah pesantren Al-Amin dan sekitarnya. Hujan yang membawa rizki dari Allah Swt. untuk makhluk di dunia. Subhanallah, bukankah itu semua adalah rahmat dari Sang Maha Ghafur?
Fabiayyi alaai Rabbikumaa tukadzidzibaan?

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


Read More »

0 comments
Oleh Moh. Holil
 
“Pendidikan adalah cara mengubah realitas sosial masyarakat yang penuh penindasan melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia”, Paulo Freire tokoh pendidikan Brazil.
Gambaran di atas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dalam suatu Negara, dan sebagai suatu cara untuk mengubah keadaan masyarakatnya. Untuk memajukan perguruan tinggi di tanah air, tentu memerlukan dorongan dan partispasi dari berbagai pihak.
Akan tetapi dalam hal ini pemerintah juga perlu mengambil langkah – langkah kongkrit.  Karena Sebaik-baik lulusan perguruan tinggi tentunya bukan hanya dilihat dari nilai ijazah yang diperoleh. Akan tetapi seberapa besar para lulusan tadi dapat memberikan solusi dari berbagai keruwetan negara bangsa ini. Selengkapnya lihat dan baca di sumbernya

Read More »

0 comments
Cinta Yang Tak Terucap
Oleh: Abdul Gafur

“Kepedulian merupakan bentuk cinta yang tak terucap”
Sakit yang ia derita lama telah merenggut fisiknya yang gagah. Ia yang dulu kokoh kini tergolek lemah.
Suasana di luar rumah tua nampak murung, mendung di langit senja menahan pancaran mentari di sore ini. Perempuan yang sedari tadi duduk di pinggir tempat tidur dari anyaman bambu, tak habis-habisnya memijat bagian tangan lelaki itu. Ia setia menungguinya. Hanya saat adzan berkumandang, ia bergegas pergi sejenak untuk menghadap Tuhan. Sehabisnya, ia duduk dan memijati kembali lelaki yang tergolek lemah, suaminya.
Menurut perempuan itu, suaminya belum pernah mengeluh bila sedang diterpa sakit. Selama hidup bersamanya, waktu sakit, tentu saja datang dan pergi namun ia tetap tabah menjalani semuanya.
“Aku mencintai dan mengaguminya,” terucap dari bibir perempuan itu di tengah-tengah ia bercerita.
“Ia begitu luar biasa tabahnya, aku bahagia bisa hidup bersamanya,” ia habisi kalimatnya penuh ketulusan.
Mendengar wanita itu bercerita, aku hanya terdiam mencoba empati terhadap apa yang dirasakannya. Namun, sekuat apapun aku mencoba tetap saja tak dapat merasakan seluruh duka batinnya. Aku merasa gagal memahami kesedihannya, segala gundah yang terlalu berat nampak di raut wajahnya.Wajahnya sayup, seperti mendung menggelayut di pikirannya.
“Lihatlah! Ia kini meneteskan air mata,” ucap Bu Navie. Seorang wanita yang sabar menunggui suami di pembaringan tempat tidur.
“Ia pasti sedang merasakan sakit yang teramat,” ucapnya lagi seraya menyeka air mata yang tumpah melewati garis tipis di wajah lelaki yang ditunggunya.
Ya, selama ini yang menjadi petanda adalah air mata. Jika laki-laki itu sedang sakit, kemudian air mata tak terbendung lagi mengalir, di situlah kesimpualan Bu Navie bermuara “Dia sedang sakit keras.”
“Petanda itu cukup lama bertahan.” Kata salah satu anaknya.
“Seingat saya, cerita itu telah terdengar dari sejak duduk di bangku SD. Sayapun bangga mendengar cerita semacam itu, seolah memberi semangat tersendiri memiliki bapak yang cukup tabah dalam menghadapi cobaan. Saya bangga karena saya sendiri belum bisa setabah itu. Dikasih sakit perut saja kata-kata keluhan bisa keluar beribu macam, itu kebiasaan saya.” Ujar Amin yang duduk tak jauh di samping kananku.
“Dalam waktu satu bulan terakhir ini, bapak saya keluar-masuk rumah sakit tidak kurang dari 5-6 kali. Tentu saja ini bisa terjadi pada siapa saja. Saat Tuhan menghendaki, segala ketidakmungkinan bisa menjadi mungkin.”
Amin juga merasakan betapa berat sakit yang di derita bapaknya.Sakitnya sesuatu yang sukar dicerna akal sehat.Bagaimana tidak, secara medis bapaknya sudah dinyatakan sehat.Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter sendiri yang menyatakan kesehatan bapaknya.Tetapi, kenyataan menampakkan yang berbeda. Ia tak dapat memungkiri bahwa yang tergolek lemas di depannya saat ini adalah orang yang dinyatakan sehat.
Amin adalah anak yang terakhir dari ke empat bersaudara. Sebenarnya Amin baru saja tiba di rumah tua ini. Selama ini, ia tinggal di luar kota, Jogja. Amin pulang ke desa, Dempo Barat Pamekasan, Madura. Karena mendapat kabar bapaknya sedang sakit, Ia pulang untuk mendampingi  dan merawat sekaligus melepas kerinduan kepada bapak dan anggota keluarganya.
"Kami hanya bisa pasrah mas, pasti ada sesuatu yang ingin Tuhan sampaikan sebagai pelajaran untuk keluarga kami," Tutur Amin dengan wajah lesu.
Sebuah ungkapan kepasrahan terbaik dari keadaan yang dialaminya saat ini. Setelah semua usaha dicoba untuk kesembuhan bapaknya.
"Sekitar tiga hari belakangan, ada sesuatu yang berbeda dari bapak mas."
"Apa itu?"
"Saya mendengar bapak mengeluarkan suara yang berbeda. 'Tuhan kenapa saya seperti ini?', suara Amin mengulangi apa yang didengar dari bapaknya."
"Lalu, kenapa?"
"Ya nggak apa-apa sih mas."
"Apakah kamu merasa bapakmu tidak tabah lagi?"
"Tidak mas! Bukan begitu maksud saya. Saya cukup paham sama bapak. Bahkan dari peristiwa itu, saya semakin tahu kalau bapak sangat mencintai dan menyayangi kami, anak-anaknya."
"Maksudnya?" Tanyaku penuh heran, karena belum sepenuhnya memahami ucapan Amin.
"Giniloh mas, suatu malam, kira-kira pukul setengah tiga, sakit bapak kambuh lagi. Nah, saat itu pula bapak mengeluarkan kata itu dalam keadaan mata tertutup. Setelah itu, ia membuka mata, wajahnya menyiratkan rasa kaget mendapati saya duduk di sampingnya. Dengan segera ia terhenti dan berucap. 'Kok belum tidur, ini sudah larut malam, sana istirahat', ucap bapak. Kemudian ia kembali menutup mata dan merubah posisi membelakangi saya.
"Toh, setelah itu saya masih mendengar rintihannya, meskipun agak sedikit pelan. Seketika itu pula ibu langsung mendekatkan diri ke telinga bapak sambil berucap beberapa kalimat dzikir yang kemudian diikuti bapak."
"Saya tau kalau malam itu bapak sedang merasakan sakit yang luar biasa, tapi ia mencoba menahannya di depan saya." Cerita Amin sore itu.
Aku terpaku. Terdiam mendengar cerita Amin. Hatiku terus berbisik sendiri. Ya Allah, begitu besar kasih sayang dan cinta orang tua untuk anak-anaknya. Para orang tua sanggup menahan rintihan, hanya untuk tidak ingin melihat anaknya merasa sedih. Betapa banyak orang tua yang bersikap baik-baik saja agar putra-putrinya tetap tersenyum dan gembira, meskipun ia dalam keadaan sebaliknya. Cinta terus mengalir walau tak pernah terucapkan. Merekalah sumber kehidupan yang nyata dan takkan tergantikan sepanjang sejarah manusia.
Akupun mencoba, membanding-bandingkan dengan pengalamanku sendiri. Aku yang selalu merasa mencintai orang tua tak pernah seiklas itu. Sifat membangga-banggakan diri selalu ada, meskipun tempatnya di hati.
Dulu, saat bapakku sedang sakit. Suatu malam, kira-kira pukul setengah dua, ibu membangunkan tidur nyenyakku. Ia meminta tolong agar aku mendampingi (mengapit) bapak sampai ke dalam mobil. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekira 10 meter dari rumah. Aku memang bangun dan menuruti perintah ibu, tapi jauh di dalam diriku ada sesuatu. Semacam desiran tidak terima dibangunkan. Dan esok harinya aku bangga luar biasa atas apa yang kulakukan. Kuceritakan pada teman-temanku dan tetangga, hingga semua orang yang mendengar menganggapku sebagai anak yang penyanyang. Padahal mereka tak dapat melihat dan rasakan "desir" yang kusembunyikan.
Kini, aku tertampar mendengar cerita cinta yang tak terucapkan, tapi penuh pembuktian. Aku melihat cahaya dalam cerita Amin, memberi tanpa pamrih, membuktikan tanpa percakapan yang terangkum dalam ketulusan cinta.
"Mas, mas…" Suara Amin semakin mengeras.
"Silahkan diminum kopinya," Ucap Bu Navie seraya tersenyum ramah.
"Iya, maaf,” balasku gugup segera setelah sadar dari lamunanku.
Senja sudah mulai gelap. Setelah kuhabiskan secangkir kopi, akupun pamit untuk pulang. Aku cukup puas mendapat suguhan cerita yang sungguh tak ternilai harganya. Tidak hanya secangkir kopi yang dihidangkan oleh keluarga Pak Dian padaku sore ini. Hidangan yang membuatku lebih mengerti bahwa cinta dan kasih-sayang orang tua selalu mengalir untuk anak-anaknya, meskipun tak selalu terucap. Seberapapun besarnya cinta dan kasih-sayang anak jauh lebih besar cinta dan ketulusan orang tua. Cinta yang bisa mewujud dalam bentuk yang bermacam rupa; bisa doa, pengorbanan membanting tulang, dan perlindungan dari segala ancaman yang senantiasa tak terbaca oleh anak-anaknya.
Di tengah perjalanan menuju rumah, kusempatkan menoleh ke belakang. Kulihat rumah Pak Dian penuh cahaya meskipun hanya menggunakan lampu teplok. Sekedar cahaya cinta untuk anak-anaknya. Dan akupun hilang ditelan kegelapan di sepanjang perjalanan pulang.

Yogyakarta, 27-11-2015


Read More »

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah