Cerpen: Cinta Yang Tak Terucap

Cinta Yang Tak Terucap
Oleh: Abdul Gafur

“Kepedulian merupakan bentuk cinta yang tak terucap”
Sakit yang ia derita lama telah merenggut fisiknya yang gagah. Ia yang dulu kokoh kini tergolek lemah.
Suasana di luar rumah tua nampak murung, mendung di langit senja menahan pancaran mentari di sore ini. Perempuan yang sedari tadi duduk di pinggir tempat tidur dari anyaman bambu, tak habis-habisnya memijat bagian tangan lelaki itu. Ia setia menungguinya. Hanya saat adzan berkumandang, ia bergegas pergi sejenak untuk menghadap Tuhan. Sehabisnya, ia duduk dan memijati kembali lelaki yang tergolek lemah, suaminya.
Menurut perempuan itu, suaminya belum pernah mengeluh bila sedang diterpa sakit. Selama hidup bersamanya, waktu sakit, tentu saja datang dan pergi namun ia tetap tabah menjalani semuanya.
“Aku mencintai dan mengaguminya,” terucap dari bibir perempuan itu di tengah-tengah ia bercerita.
“Ia begitu luar biasa tabahnya, aku bahagia bisa hidup bersamanya,” ia habisi kalimatnya penuh ketulusan.
Mendengar wanita itu bercerita, aku hanya terdiam mencoba empati terhadap apa yang dirasakannya. Namun, sekuat apapun aku mencoba tetap saja tak dapat merasakan seluruh duka batinnya. Aku merasa gagal memahami kesedihannya, segala gundah yang terlalu berat nampak di raut wajahnya.Wajahnya sayup, seperti mendung menggelayut di pikirannya.
“Lihatlah! Ia kini meneteskan air mata,” ucap Bu Navie. Seorang wanita yang sabar menunggui suami di pembaringan tempat tidur.
“Ia pasti sedang merasakan sakit yang teramat,” ucapnya lagi seraya menyeka air mata yang tumpah melewati garis tipis di wajah lelaki yang ditunggunya.
Ya, selama ini yang menjadi petanda adalah air mata. Jika laki-laki itu sedang sakit, kemudian air mata tak terbendung lagi mengalir, di situlah kesimpualan Bu Navie bermuara “Dia sedang sakit keras.”
“Petanda itu cukup lama bertahan.” Kata salah satu anaknya.
“Seingat saya, cerita itu telah terdengar dari sejak duduk di bangku SD. Sayapun bangga mendengar cerita semacam itu, seolah memberi semangat tersendiri memiliki bapak yang cukup tabah dalam menghadapi cobaan. Saya bangga karena saya sendiri belum bisa setabah itu. Dikasih sakit perut saja kata-kata keluhan bisa keluar beribu macam, itu kebiasaan saya.” Ujar Amin yang duduk tak jauh di samping kananku.
“Dalam waktu satu bulan terakhir ini, bapak saya keluar-masuk rumah sakit tidak kurang dari 5-6 kali. Tentu saja ini bisa terjadi pada siapa saja. Saat Tuhan menghendaki, segala ketidakmungkinan bisa menjadi mungkin.”
Amin juga merasakan betapa berat sakit yang di derita bapaknya.Sakitnya sesuatu yang sukar dicerna akal sehat.Bagaimana tidak, secara medis bapaknya sudah dinyatakan sehat.Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter sendiri yang menyatakan kesehatan bapaknya.Tetapi, kenyataan menampakkan yang berbeda. Ia tak dapat memungkiri bahwa yang tergolek lemas di depannya saat ini adalah orang yang dinyatakan sehat.
Amin adalah anak yang terakhir dari ke empat bersaudara. Sebenarnya Amin baru saja tiba di rumah tua ini. Selama ini, ia tinggal di luar kota, Jogja. Amin pulang ke desa, Dempo Barat Pamekasan, Madura. Karena mendapat kabar bapaknya sedang sakit, Ia pulang untuk mendampingi  dan merawat sekaligus melepas kerinduan kepada bapak dan anggota keluarganya.
"Kami hanya bisa pasrah mas, pasti ada sesuatu yang ingin Tuhan sampaikan sebagai pelajaran untuk keluarga kami," Tutur Amin dengan wajah lesu.
Sebuah ungkapan kepasrahan terbaik dari keadaan yang dialaminya saat ini. Setelah semua usaha dicoba untuk kesembuhan bapaknya.
"Sekitar tiga hari belakangan, ada sesuatu yang berbeda dari bapak mas."
"Apa itu?"
"Saya mendengar bapak mengeluarkan suara yang berbeda. 'Tuhan kenapa saya seperti ini?', suara Amin mengulangi apa yang didengar dari bapaknya."
"Lalu, kenapa?"
"Ya nggak apa-apa sih mas."
"Apakah kamu merasa bapakmu tidak tabah lagi?"
"Tidak mas! Bukan begitu maksud saya. Saya cukup paham sama bapak. Bahkan dari peristiwa itu, saya semakin tahu kalau bapak sangat mencintai dan menyayangi kami, anak-anaknya."
"Maksudnya?" Tanyaku penuh heran, karena belum sepenuhnya memahami ucapan Amin.
"Giniloh mas, suatu malam, kira-kira pukul setengah tiga, sakit bapak kambuh lagi. Nah, saat itu pula bapak mengeluarkan kata itu dalam keadaan mata tertutup. Setelah itu, ia membuka mata, wajahnya menyiratkan rasa kaget mendapati saya duduk di sampingnya. Dengan segera ia terhenti dan berucap. 'Kok belum tidur, ini sudah larut malam, sana istirahat', ucap bapak. Kemudian ia kembali menutup mata dan merubah posisi membelakangi saya.
"Toh, setelah itu saya masih mendengar rintihannya, meskipun agak sedikit pelan. Seketika itu pula ibu langsung mendekatkan diri ke telinga bapak sambil berucap beberapa kalimat dzikir yang kemudian diikuti bapak."
"Saya tau kalau malam itu bapak sedang merasakan sakit yang luar biasa, tapi ia mencoba menahannya di depan saya." Cerita Amin sore itu.
Aku terpaku. Terdiam mendengar cerita Amin. Hatiku terus berbisik sendiri. Ya Allah, begitu besar kasih sayang dan cinta orang tua untuk anak-anaknya. Para orang tua sanggup menahan rintihan, hanya untuk tidak ingin melihat anaknya merasa sedih. Betapa banyak orang tua yang bersikap baik-baik saja agar putra-putrinya tetap tersenyum dan gembira, meskipun ia dalam keadaan sebaliknya. Cinta terus mengalir walau tak pernah terucapkan. Merekalah sumber kehidupan yang nyata dan takkan tergantikan sepanjang sejarah manusia.
Akupun mencoba, membanding-bandingkan dengan pengalamanku sendiri. Aku yang selalu merasa mencintai orang tua tak pernah seiklas itu. Sifat membangga-banggakan diri selalu ada, meskipun tempatnya di hati.
Dulu, saat bapakku sedang sakit. Suatu malam, kira-kira pukul setengah dua, ibu membangunkan tidur nyenyakku. Ia meminta tolong agar aku mendampingi (mengapit) bapak sampai ke dalam mobil. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekira 10 meter dari rumah. Aku memang bangun dan menuruti perintah ibu, tapi jauh di dalam diriku ada sesuatu. Semacam desiran tidak terima dibangunkan. Dan esok harinya aku bangga luar biasa atas apa yang kulakukan. Kuceritakan pada teman-temanku dan tetangga, hingga semua orang yang mendengar menganggapku sebagai anak yang penyanyang. Padahal mereka tak dapat melihat dan rasakan "desir" yang kusembunyikan.
Kini, aku tertampar mendengar cerita cinta yang tak terucapkan, tapi penuh pembuktian. Aku melihat cahaya dalam cerita Amin, memberi tanpa pamrih, membuktikan tanpa percakapan yang terangkum dalam ketulusan cinta.
"Mas, mas…" Suara Amin semakin mengeras.
"Silahkan diminum kopinya," Ucap Bu Navie seraya tersenyum ramah.
"Iya, maaf,” balasku gugup segera setelah sadar dari lamunanku.
Senja sudah mulai gelap. Setelah kuhabiskan secangkir kopi, akupun pamit untuk pulang. Aku cukup puas mendapat suguhan cerita yang sungguh tak ternilai harganya. Tidak hanya secangkir kopi yang dihidangkan oleh keluarga Pak Dian padaku sore ini. Hidangan yang membuatku lebih mengerti bahwa cinta dan kasih-sayang orang tua selalu mengalir untuk anak-anaknya, meskipun tak selalu terucap. Seberapapun besarnya cinta dan kasih-sayang anak jauh lebih besar cinta dan ketulusan orang tua. Cinta yang bisa mewujud dalam bentuk yang bermacam rupa; bisa doa, pengorbanan membanting tulang, dan perlindungan dari segala ancaman yang senantiasa tak terbaca oleh anak-anaknya.
Di tengah perjalanan menuju rumah, kusempatkan menoleh ke belakang. Kulihat rumah Pak Dian penuh cahaya meskipun hanya menggunakan lampu teplok. Sekedar cahaya cinta untuk anak-anaknya. Dan akupun hilang ditelan kegelapan di sepanjang perjalanan pulang.

Yogyakarta, 27-11-2015


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah