Cerpen (1): Santri Biasa itu Bernama Khairul Mufid

Oleh: Rosidi Achmad*

Siang itu, awan di atas tanah Desa Gangser terlihat mendung. Segerombolan burung Walet terbang mengikuti arah mata angin, sambil berputar-putar di udara. Mereka saling mengejar satu sama lain dan memekikkan suara indah. Seindah gema azan zuhur dari menara masjid pesantren Al-Amin.
Masjid Al-Amin adalah masjid kebanggaan masyarakat Desa Gangser dan sekitarnya. Masjid itu bisa menampung puluhan bahkan ratusan jamaah setelah pengurus masjid merenovasinya tahun lalu. Ada dua lantai yang indah dan mewah. Lantai pertama untuk jemaah pria, sedangkan lantai kedua untuk jemaah wanita.
Para mahasiswa, santri dan jemaah terlihat sibuk dengan aktifitas akherat masing-masing; ada yang sedang melaksanakan shalat sunnah rowatib, dan  ada  pula yang membaca Al-Quran. Ayat demi ayat mereka baca dengan penuh hikmat. Kalamullah yang agung itu menggema di ruangan masjid. Suara mereka begitu indah terdengar, bahkan menyentuh hati insan yang mendapat petunjuk akan keindahan menjadi seorang hamba.
Tidak jauh beda di lantai dua, para santriwati dan mahasiswi turut berbangga hati menyambut datangnya waktu agung. Waktu dimana manusia dan Sang Pencipta tak ada hijab walau sehelai rambut. Itulah salah satu dari lima waktu yang Allah Swt., berikan kepada manusia. Sebagai bukti cinta-Nya pada manusia, walau kadang meraka sendiri yang menyianyiakan cinta-Nya.
Para santri putri dan mahasiswi sangat terlihat anggun saat mengenakan mukena putih. Suasana damai dan tentram terasa di ruangan itu. Mereka seolah bidadari dari langit yang menebar pesona pada setiap insan yang melihatnya. Di tengah-tengah  mereka turut hadir putri Kyai Mukhtar, Hidayah. Dia adalah mahasiswi semester lima jurusan Tarbiyah. Dia begitu semangat mengikuti kajian abahnya. Kesadarannya begitu kuat, bahwa manusia mendapat ilmu bukan sebab keturunan, tapi dengan usaha belajar giat dan doa.
Mereka membaca zikir sambil menunggu Kyai Mukhtar datang untuk menjadi imam. Memang, setiap hari dia selalu menjadi imam saat sholat zuhur sekaligus memberikan kajian usai sholat. Kitab tafser jalalin yang menjadi pilihan. Kitab yang merupakan tafser Al-Quran yang agung.
Iqomah pun berkumandang.
Semua jemaah masjid Al-Amin membentuk barisan saf dengan rapi. Saf yang menyerupai barisan prajurit perang yang siap tempur: kuat, kompak dan serasi. Kyai Mukhtar sebagai imam mengucap takbir. Para mamum mengikutinya.Tidak ada suara terdengar, kecuali suara lima kipas angin yang berputar di atas langit-langit masjid.
Para hamba Allah itu merasa sang Khaliq dekat, bahkan lebih dekat dengan urat leher mereka. Kedamaian, ketenangan, dan ketentraman terasa mengalir begitu saja. Seperti mengalirnya setiap rukun yang mereka laksanakan dalam shalat.
Usai melaksanakan shalat zuhur, zikir bersama dan shalat sunnah, mereka tetap duduk bersila. Semua mata tertuju pada Kyai Mukhtar. Sesuai jadwal hari ini, Beliau akan memimpin kajian. Tafsir Jalalin menjadi kitab pilihan. Beliau menyuruh membuka surat Athaalaq ayat dua sampai tiga.  Beliau mengucap salam. Semua santri dan mahasiswa menjawab serentak. Beliau mulai membaca arti sebuah ayat:
“……..Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Pengasuh muda itu terus menjelaskan kandungan ayat athaalaq dengan detail dan jelas. Para santri dan mahasiswa mendengar dengan penuh semangat. Di tengah-tengah mereka juga hadir seorang mahasiswa Matematika, Khairul Mufid. Dia tidak hanya mendengar ceramah Kyai Mukhtar, tapi juga mencatat setiap kandungan-kandungan penting dari ceramah Beliau. Kesemangatan itu menyebabkan dia tidak sadar, bahwa kajian sudah usai.
Semua mahasiswa keluar dari masjid.
Ketenangan dan kebahagiaan terlihat jelas di seluruh wajah jemaah masjid Al-Amin, begitu juga yang di rasakan oleh Hidayah beserta dua sahabatnya: Anisatul Adhawiyah dan Fadilah. Penyampaiaan Kyai Mukhtar mampu menyihir semua santri dan mahasiswa untuk terus berusaha meraih mimpi dengan jalan taqwa sebagai pijakannya.
“Neng Hidayah, abahmu memang sangat alim, deh,” Anisatul Adhawiyah berucap, sambil melipat rukuhnya, lalu memasukan ke dalam tas ukuran mini.
“Tentu, namanya juga Kyai,” imbuh Fadilah, “Di mana-mana Kyai itu pasti alim.”
“Anis, Fadilah, jangan bicara seperti itu,”  tutur  Hidayah datar, “Abah seperti itu bukan semata-mata karena menjadi Kyai. Semua yang abah dapat adalah hasil kerja keras dan berdoa. Abah juga pernah bilang pada saya, bahwa usaha tanpa doa adalah kesombongan. Doa tanpa usaha adalah kemustahilan. Usaha yang diiringi dengan doa adalah sebuah keindahan keimanan.”
“Kalau boleh tahu?” Anis bertanya kembali, “Apakah pria idaman Neng kelak harus memiliki sifat seperti abah Neng?”
Fadilah tersenyum. Lalu memandang wajah Hidayah yang sedang tertunduk.
Mendengar pertanyaan Anis dan Fadilah, wanita yang begitu menjaga jarak dengan kaum adam itu juga memandang wajah dua sahabatnya. Dengan wajah begitu ceria Hidayah menjawab, “Saya hanya ingin memiliki imam yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab dan mensyukuri dirinya sebagai hamba. Hamba yang menuntun saya untuk selalu memuji Ilahi. Menuntun saya menuju jalan yang diridhoi-Nya. Membangun rumah tangga yang dapat berguna bagi sesama. Di atas fondasi aliran cinta yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Siapa pun dia, akan saya jadikan imam keluarga kecil saya yang pertama dan terakhir dalam hidup. Selamanya.”
“Subhanallah,”  ucap Fadilah, “Jadi teringat sebuah lagu yang bejudul cintai aku karena Allah.”
Mereka tertawa kecil dan tidak mungkin tertawa lepas, agama melarang hal itu.
“Terus, bagaimana dengan si Subhan?” tiba-tiba Fadilah bertanya tentang tunangan Hidayah, “Apakah dia adalah sosok pria seperti yang Neng idamkan?”
“Menurut saya, dia tidak cocok denganmu, Neng,” lanjut Anis, “Apalagi saya dengar di malang dia sangat, Ih, tahu lah, jadi eneg bila ingat namanya.”
Hati Hidayah terguncang mendengar perbincangan dua sahabatnya. Apalagi dia juga tahu sifat Subhan di kampusnya. Sesungguhnya dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Dia ingin melupakan tunangan pilihan kedua orang tuanya, tapi dia tidak berdaya saat teringat akan kebahagiaan mereka.
“Astaghfirlah. Tidak baik bicara seperti itu, apalagi di dalam masjid. Sahabat-sahabat yang baik hati. Kita tidak boleh menilai seseorang, karena orang itu belum tentu lebih buruk dari kita. Dan saya yakin pria baik untuk wanita baik dan begitu sebaliknya. Makanya mulai saat ini saya ingin belajar menjadi wanita baik.”
"Astaghfirlah!" Tiba-tiba Anis juga membaca istighfar, "Maaf Neng. Saya janji tidak akan bicara seperti itu lagi."
Hidayah tersenyum, semua sahabatnya pun juga tersenyum.
“Sebaiknya kita pulang saja,”  usul Fadilah sambil memandang langit dari jendela masjid, “Kelihatannya semua orang sudah pada keluar. Apalagi awan sudah kelihatan mendung. Sepertinya hujan akan turun.”
"Iya kamu benar. Sepertinya hujan akan turun hari ini. Kita ke pondok saja, ya, Neng."
"Boleh."
Mereka pun menuju keluar masjid. Dengan penuh tatakrama mereka keluar masjid didahului kaki kiri. Allahumma inni asaluka min fadlika. Hidayah membaca doa dalam hatinya saat keluar bersama dua temannya.
Mendung di atas langit mulai pekat. Gemuruh halilintar semakin bertabuh. Tanda-tanda akan turunnya hujan semakin terasa. Cahaya mentari semakin terhalang awan hitam tebal. Hembusan angin semakin dingin terasa. Meski begitu, cahaya wajah Hidayah, Anisatul Adhawiyah dan Fadilah tetap memancar. Balutan hijab, dan pakaian islami yang mereka kenakan seolah menambah pesona kecantikannya.
Fadilah yang merupakan mahasiswi jurusan Matematika ingin mengisi waktu di tengah langkahnya. Dia merasa lebih baik berdiskusi dari pada hanya ngobrol. Fadilah berpikir sejenak. Lalu mulai berusul, “O, iya, giman kalau kita sambil berdiskusi?” Hidayah dan Anis memandang Fadilah. Diskusi pun dimulai:
“Permasalahannya seperti ini. Apakah kalian setuju bila semua benda dan isi bumi bergerak?” tanya Fadilah.
Mendengar pertanyaan itu, seketika Hidayah dan Anis berhenti melangkah.
“Anis apa kamu bisa menjawab?” tanya Hidayah.
“Insya Allah,” jawab Anis mantap.
Mereka kembali melangkah.
“Apa kalian tahu elektron?” Anis balik tanya.
“Mm, kalau tidak salah,” ucap Hidayah dengan nada sedikit ragu, “Elektron adalah partikel elementer.”
“Ya, Neng benar. Elektron adalah partikel elementer yang setiap saat tidak pernah berhenti berputar pada dirinya sendiri, bahkan jika ia berada di dalam atom, ia akan bergerak melingkari pusat atom, atau melakukan revolusi pada orbitnya. Nah, mungkin kalian sudah tahu, bahwa setelah itu, atom-atom itu akan membentuk sistem yang lebih besar yang disebut molekul, dan tentu kita juga tahu bahwa molekul inilah yang membentuk unsur-unsur maupun senyawa, berupa benda-benda yang tersebar diseluruh dunia, seperti kursi, meja dan barang-barang yang ada di sekitar kita.”
“Lho, mana ada? Buktinya buku ini diam,” bantah Fadilah.
Anis tersenyum, kemudian menjawab tegas tapi pelan, “Kata siapa mereka diam?”
Tiba-tiba, tidak ada sepatah kata yang terlontar, kecuali hilir mudik kendaraan di sekitar kampus. Hidayah dan Fadilah menunggu jawaban Anis. Beberapa saat Hidayah kembali bertanya dengan penuh penasaran, “Lantas, bagaiman kamu mengatakan hal itu? Mana buktinya? Apa kamu tidak lihat buku ini?”
“Iya saya ngerti maksud, Neng,” tutur Anis, memotong pertanyaan Hidayah, “Bukankah kita juga tahu, bahwa bumi ini berputar mengelilingi matahari, sedangkan kita dan benda yang lain ada di atasnya. Secara tak langsung kita dan benda-benda ini juga bergerak bersama bumi mengelilingi matahari. Jadi, semua tidak ada yang berhenti mutlak di alam semesta ini. Memang, buku itu seolah diam di hadapan kita, sebenarnya ia sedang bergerak mengelilingi matahari bersama bumi. Miliaran benda lainnya di atas bumi juga demikian, seakan akan mereka diam, padahal sedang dibawa oleh bumi mengelilingi matahari, bahkan juga menegelilingi pusat galaksi dan pusat superkluster.”
"Bolehkah saya bertanya sekali lagi?” pinta Hidayah, “Ngomong-ngomong kenapa benda-benda itu terus bergerak? Kapan mulainya? Kapan berhentinya? Dari mana energi gerak itu timbul dan untuk apa?”
Anis terlihat kesulitan untuk menjawab. Beruntung dia pernah mendengar keterangan tentang permasalahan yang Fadilah ingin diskusikan. Keterangan itu dia dengar dari ustaz Sulton, ketika di Madrasah Aliyah. Anis memperlambat langkahnya. Menjelaskan sedetail mungkin apa yang dia tahu.
Saya akan menjawab pertanyaan Neng secara beruntun. Pertanyaan  mu dari pertama sampai terakhir saling berkaitan,” jawab Anis dengan percaya diri, “Yang saya tahu dalam pengamatan teleskop Hubble yang ditempatkan di atas atmosfer bumi diketahui, bahwa seluruh benda langit di angkasa luar memang sedang bergerak saling menjauh. Ternyata, ini disebabkan ledakan besar yang terjadi pada awal penciptaan alam semesta yang dijelaskan dalam teori big bang. Nah, oleh sebab itu, seluruh material alam semesta terpental kesegala penjuru langit, insya Allah, sejak sekitar dua belas miliar tahun yang lalu hingga sekarang, bahkan hingga nanti sekitar tiga miliar tahun lagi, sebelum kemudian dilanjutkan dengan periode akhirat. Maka atas dasar itulah, energi alam semesta ini terjadi. Energi itu tersisa hingga sekarang, dalam bentuk putaran benda langit secara sendiri dan kolektif. Memang aneh, kenapa bisa berputar? Para ilmuan hingga sekarang yang saya tahu, masih belum menemukan jawaban, akan tetapi dengan berputar itulah keutuhan alam semesta ini terjaga. Ada gaya tarik menarik antara benda langit yang membuatnya seimbang dan tidak saling bertubrukan, karena semua benda di alam ini berpusat pada satu aturan yang harmonis.”
“Ternyata kamu cerdas juga,” puji Hidayah merasa takjub.
“Alhamdulillah, Neng. Semua jawaban tadi belum tentu sepenuhnya benar,” tutur Anis rendah hati, “Saya hanya mengingat saat saya duduk di bangku Madrasah Aliyah di Al-Amin.”
“Ternyata tidak sia-sia orang tuamu menyekolahkanmu,” imbuh Fadilah.
Anis tersenyum, Hidayah dan Fadilah turut tersenyum. Mereka semakin mempercepat langkah  menjauh dari masjid, sambil  lalu berbincang-bincang. Mula-mula Hidayah menyinggung tentang pengalaman saat duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di pesantren milik abahnya itu. Fadilah dan Anis menyimak cerita sahabat sekaligus orang yang mereka hormati. Bagi mereka, Hidayah adalah sahabat yang begitu menyenangkan. Tapi, mereka juga tahu, bahwa Hidayah adalah putri pengasuh pesantren di mana mereka nyantri.
Di tengah-tengah langkah mereka, Fadilah pamit diri. Ayahnya sudah datang menjemput.  Dia tidak lagi mukim semenjak lulus Madrasah Aliyah. Setiap jam kuliah ayahnya menjemput dan mengantarkannya. Sedangkan Anis sendiri masih mukim di pesantren Al-Amin.
Kini Hidayah dan Fifin melangkah menuju asrama tanpa Fadilah. Ada yang membedakan Hidayah dengan putri-putri pengasuh lainnya. Meski dia adalah putri pengasuh di pesantren Al-Amin, dia jarang tidur di kamar pribadinya. Tidak ada perbedaan kasta dalam agenda harian hidupnya. Kesederhanaan itulah yang membuatnya berhati lembut.
“Ya Allah, Neng, catatan buku hadist Tarbawi saya ketinggalan di masjid,” tiba-tiba Anis teringat pada bukunya, ”Saya harus membacanya malam ini. Besok saya UAS, Neng.”
“Ya sudah, mari kita kembali ke masjid. Nanti keburu hujan lagi,” usul Hidayah sambil memandang langit.
“Iya, Neng, mari. Sebelumnya makasih sudah mau membantu saya.”
Hidayah tersenyum simpul. Lalu menganggukkan kepala. Dia bisa membaca kecemasan tergambar di mata sahabatnya itu.
****
Di atas tanah pesantren Al-Amin lainnya. Seorang santri biasa masih saja berada di dalam masjid. Dia melaksanakan shalat sunnah mutlak, usai shalat sunnah badiyah lalu membaca shalawat. Dia membuka ulang buku catatannya untuk sekedar membaca semua materi dari dosen dan Kyai Mukhtar yang baru saja dia catat.
“Assalamualaikum.”
Santri itu menoleh sambil merubah posisi duduknya. Lalu memandang mahasiswi berjilbab putih yang tidak dia kenal namanya, dia berdiri di samping kanan. Santri itu tahu, pasti dia  dari jurusan Bahasa Inggris. Terlihat jelas tangannya menenteng kamus bahasa Inggris, apalagi dia memakai jaket bertuliskan, Al-Amin English Club (A.E.C). Santri itu pun menjawab salamnya.
“Sorry, ganggu, saya menemukan buku ini,” mahasiswi itu memperlihatkan buku bersampul kuning yang baru dia temukan, “Apakah buku ini milik Mas atau bila bukan, mungkin Mas tahu buku ini milik siapa?”
“Wah, saya tidak punya buku seperti itu,” jawab si santri, “Coba saja dibuka Mbak, siapa tahu di dalam terdapat biodata si pemilik.”
Mahasiswi itu mengikuti sarannya. Lembar demi lembar dari buku itu diteliti. Senyumnya terulas, “Ternyata buku ini milik Anisatul Adhawiyah. Dari  jurusan Pendidikan Agama Islam.”
“Mbak kenal pada pemilik nama itu?” santri itu bertanya.
“Tidak, Mas. Saya tidak kenal,”  jawabnya, “Mungkin lebih baik saya kembalikan ke tempat di mana saya menemukan. Kelihatannya buku ini catatan penting. Menurutmu bagaimana, Mas?”
“Mm, menurut saya lebih baik Mbak simpan buku itu dulu. Asalkan Mbak menjaga dengan baik. Jangan sampai rusak. Ya ngitung-ngitung dari pada jatuh ke tangan yang tak bertanggung jawab. Biar bagai mana pun, buku itu adalah tanggung jawab Mbak sebagai penemu buku itu. Nah, besok Mbak bisa membuat informasi di MADING kampus. Insya Allah saya akan membantu membuat informasi. Itu pun bila Mbak mau, gimana?”
“Mas benar juga. Baiklah,” mahasiswi itu memasukan buku itu ke dalam tasnya, “Kelihatannya hujan akan turun. Mas tidak mau pulang?”
Santri itu tersenyum. Lalu menjawab dengan santun, “Saya masih mau ngumpulin refrensi dari beberapa buku. Insya Allah sebentar lagi rampung.”
“Kalau boleh tahu, buat apa refrensi itu?”
“Biasa, buat bahan untuk tes program biasiswa di Jember. Siapa tahu saya lolos.”
“Wah, Mas sudah jadi sarjana. Saya doakan semoga lolos.”
“Amin. Terima kasih mohon doanya.”
“Kalau boleh tahu, apakah program beasiswa S2 itu dilaksanakan setiap tahun?”
“Bila masalah itu Mbak sebaiknya bertanya langsung ke fakultas. Yang saya tahu memang setiap tahun kampus kita ini akan mengeluarkan 20 mahasiswa terbaik untuk ikut seleksi.”
“Artinya, yang menentukan siapa yang ikut adalah kampus.”
“Mbak betul. Mahasiswa yang ingin ikut harus memiliki surat rekomendasi dari universitas Al-Amin.”
Mahasiwi itu menganggukkan kepala. Kemudian berdiri sambil tersenyum, “Ya sudah. Saya pulang dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarkatuh,” jawab santri itu. Lalu dia melanjutkan bacaan yang tadi sempat tertunda. Sambil menikmati udara dari lima kipas angin yang berputar di atas langit-langit masjid. Dia begitu tahu cara belajar ala kitab talimul mutaallim.
Tanpa dia sadari, waktu telah menunjukan jam satu sore. Sudah satu jam lebih dia berada di dalam masjid. Buku dan alat tulis, dia masukan ke dalam tas. Meski tugasnya sedikit terbengkalai, namun hatinya tergerak untuk melanjutkan di pesantren di mana dia nyantri.  Santri itu beranjak dari tempat duduknya. Lalu mengambil tas gendong yang telah menemaninya kurang lebih empat tahun. Segera dia melangkah ke luar masjid. Dia tidak ingin terlambat menghadiri acara penyambutan santri di pesantren dia nyantri sekarang, PP. Al-Fatah. Santri yang baru pulang dari Jombang dalam ajang lomba baca kitab tingkat Nasional.
Matanya menyisir sekitar masjid. Gerimis mulai turun dan membasahi tanah pesantren Al-Amin. Akhir tahun 2014 memang puncaknya musim hujan. Namun hal itu tidak merubah niatnya untuk tetap melaju menuju pesantrennya. Santri itu tetap membulatkan tekad. Dia melihat sepatunya. Sekilas, senyum kecil kembali terukir indah. Sudah tiga tahun sepatu itu menemani masa studinya. Mulai dari semester satu dulu, hingga semester akhir sekarang. Dia tetap saja memakai sepatu itu. Santri itu pun  melangkah pergi.
Sayup-sayup dia mendengar ada orang berteriak. Tiba-tiba, santri itu berhenti melangkah. Dia mencari asal suara yang terdengar sayub itu. Dua perempuan  yang  tak  lain Hidayah dan Anisatul Adhawiyah  melambaikan tangan di depan teras masjid. Santri itu ingin menyapa mereka. Tapi, Hidayah lebih dulu menyapa, “Apakah Anda menemukan buku di dalam masjid ini tadi? Karena sepertinya Anda baru saja keluar dari dalam masjid.”
Santri itu pun  menjawab, “O, tadi memang ada mahasiswi yang menemukan  buku. Kalau tidak salah warna sampulnya.”
“Kuning. Warnanya kuning, kan?” potong Anis spontan, tanpa ada jeda dalam kalimatnya.
“Mas, masih menyimpan buku itu?” tanya Hidayah khawatir.
“Tadi saya nyuruh mahasiswi itu untuk membawa bukumu,” jawab santri itu.
“Ya Allah, bagaimana ini, Neng?” tanya Anis sedih. Dia kembali duduk. Semangatnya kembali pudar.
“Setidaknya kita sudah tahu orang yang membawa buku itu,” jawab Hidayah sambil memandang Anis, “Tapi, apakah Mas kenal mahasiswi yang Mas maksud?”
“Kalau tidak salah, mahasiswi itu dari jurusan Bahasa Inggris,” ucap santri itu, meyakinkan Hidayah dan Anis, “Kalau namanya saya tidak tahu. Kalian tunggu saja di sini. Saya akan mencoba mencarinya. Siapa tahu dia masih tidak jauh dari sini.”
Hidayah tersenyum. Dia ingin menyampaikan sesuatu pada santri itu. Tapi Anis mendahuluinya. “Betulkah? Buku itu adalah catatan penting materi Hadits. Malam ini saya harus membacanya. Besok saya akan ikut ujian akhir semester. Sebelumnya terimakasih, Mas.”
“Ya sudah. Kalian tunggu saja di sini,” pinta santri itu. Lalu dia berlari mencari mahasiswi tadi di tengah gerimis yang semakin deras.
Anis semakin cemas. Dia hanya diam di samping Hidayah. Dia terus memanjatkan doa kecil dalam hatinya, agar buku catatan itu segera ditemukan. Hidayah terus menghibur Anis. Beberapa kali dia bergurau dengan sahabatnya. Dia ingin menciptakan suasana hidup di tengah kegundahan hati sahabatnya.
Namun, itu semua sudah tidak bisa merubah kegundahannya. Matanya terus memandang hujan yang semakin deras tanpa gairah. Beberapa kali Anis berprasangka bahwa santri itu tidak akan kembali membawa bukunya, apalagi dia baru mengenal santri itu. Baginya, tidak mungkin santri itu mau meluangkan waktu hanya untuk menolong mencari bukunya.
“Anis, lihat siapa yang datang?” pinta Hidayah.
Anis pun berdiri. Lalu berucap penuh semangat, “Alhamdulillah, pemuda itu datang.”
“Maaf Mbak lama menunggu. Abis hujan begitu deras,” ucap santri itu sambil menggigil kedinginan. Pakaiannya basah kuyub akibat terguyur hujan, “Ini bukunya saya bungkus dengan plastik. Soalnya takut kehujanan,” lanjutnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Anis menerima bukunya yang telah terbungkus plastik hitam. Lalu memeriksanya. Perasaan bahagia menunjak memenuhi hatinya. Senyumnya kembali terukir. Wajahnya kembali memancarkan aura kesemangatan. Dia terus berucap syukur sambil berterima kasih pada pemuda yang membantunya. Sedangkan Hidayah merasa ada sesuatu yang beda. Ada getaran yang menyelinap masuk ke relung hatinya entah dari mana datangnya. Dia terpaku melihat pemuda itu berbicara dengan Anis. Dari mata santri itu, dia melihat sebuah kesederhanaan dan keikhlasan. Dari tubuh yang basah kuyub itu, dia melihat kekuatan yang tiada tara. Hati Hidayah pun sejuk saat melihat santri itu. Sesejuk air hujan yang turun dari langit.
“Saya pamit pulung dulu. Lainkali hati-hati. Jangan sampai ketinggalan lagi,” tutur pemuda itu.
“Tunggu saja sebentar sambil nunggu hujan reda,” pinta Anis
“Di pesantren ada acara penyambutan santri yang datang dari Jombang. Sangat sayang sekali bila tidak hadir,” jelasnya berusaha meyakinkan mereka, “Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” jawab Anis, “Terimakasih, Mas.”
Santri itu mengangguk sambil tersenyum. Hidayah terus memandangnya. Rasa kagum Hidayah semakin besar saat dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang santri. Pemuda itu pun berlari di tengah guyuran hujan. Seketika Hidayah sadar dia belum tahu namanya, “Mas namamu siapa? tanya Hidayah.
Santri itu berhenti sejenak. Lalu melihat ke arah Hidayah dan Anis. Kemudian berucap di tengah hujan, “Khairul. Nama saya Khairul Mufid.”
Khairul kembali berlari. Hidayah pun tersenyum. Hari itu Hidayah menemukan lembaran baru dalam hidupnya. Dia terus memandang Khairul hingga hilang terhalang pagar dan gedung Universitas Al-Amin. Sedangkan Anis terus memeriksa bukunya dengan hati berbunga-bunga.
Itulah kehendak Allah Swt. yang sudah tertulis di Lauhil Mahfud. Tak ada satu pun yang luput dari pengawasan-Nya. Takdir baik dan buruk semua sudah termaktub. Termasuk, turunnya hujan yang membasahi tanah pesantren Al-Amin dan sekitarnya. Hujan yang membawa rizki dari Allah Swt. untuk makhluk di dunia. Subhanallah, bukankah itu semua adalah rahmat dari Sang Maha Ghafur?
Fabiayyi alaai Rabbikumaa tukadzidzibaan?

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah