Cerpen (7): Kebohongan yang Direncanakan

Oleh: Rosidi Achmad*

Angin malam berhembus tenang. Langit terbentang luas di atas cakrawala. Bintang dan bulan turut bersanding menghiasi malam. Cahaya keemasannya menyepuh lautan luas dan ombak yang tidak pernah bosan menghempas batu karang. Suara hempasan itu begitu riuh.  Gemerlap lampu perahu di tengah laut turut menambah pemandangan pantai Pasongsongan memesona.
Iman, hanya orang beriman yang akan mendapatkan petunjuk. Keindahan itu terjadi bukan dengan tiba-tiba. Itu semua: hembusan angin, bulan dan bintang yang menghiasi malam, ombak, pantai indah, dan perahu yang berlayar di atas pantai adalah tanda-tanda ke-Esa-an Allah Swt..
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermamfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkanNya bumi setelah mati(kering), dan dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.
Begitu besar arti kehidupan bagi manusia. Hidup di dunia hanya sekali dan tidak kan terulang dua kali. Tujuan hidup yang sesungguhnya adalah untuk mencari ridho-Nya. Cinta dan kasih sayang-Nya sangatlah luas terhampar di atas bumi ini. Itulah cinta Robby pada manusia yang tidak lekang termakan masa. Meski makhluk-Nya sering kali lupa, bahkan ingin menjauh dari-Nya. Sekali lagi, hanya orang-orang yang mengerti dan bersyukurlah yang mampu memaknai cinta kasih-Nya. Bermacam-macam cinta Allah pada manusia. Kegagalan dan kesuksesan salah satu dari macam-maca itu.
“Khairul, sekarang saatnya kamu bahagia, tretan. Cita-citamu sudah kamu genggam,” tutur Edy sambil berlari pelan menjauhi Khairul, “Mari kita nikmati malam dan pantai Pasongsongan indah ini.”
“Iya, Cak. Edy benar. Selamat atas kelulusanmu, wahai sarjana muda. semoga ilmunya berkah.  Mohon maaf, kita sudah membohongimu,” tambah Surahman.
Sahri tersenyum, lalu ikut berlari bersama Surahman dan Edy di atas pasir pantai Pasongsongan.
“Awas kalian. Sahabat macam apa yang berani membohongi sahabatnya sendiri. Katanya kalian akan membawa saya ke Panaongan untuk ziarah, tapi malah kalian bawa ke pantai ini. Sahabat macam apa kalian!" ucap Khairul geram, sambil terus mengejar ketiga sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka. Sementara mereka terus berlari, berusaha menjauh dari pengejaran Khairul.
Otak dari kebohonangan terencana itu didalangi oleh Edy. Dia bahagia melihat Khairul malam itu. Sudah lama dia tidak melihat Khairul berlari sambil tertawa lepas. Dia berpikir rencananya berjalan sesuai yang direncanakan bersama Surahman dan Sahri jauh hari sebelumnya.
Ide itu muncul tiga hari sebelumnya. Sesudah Khairul dan tiga sahabatnya melaksanakan ngaji surah Yasin sebagai rasa syukur atas nikmat yang diperolehnya. Tidak taggung-tanggung, mereka rela mengadakan sumbangan tanpa sepengetahuan Khairul untuk nyewa dong-odong pada Mad Suhri. Itu semua mereka lakukan sebagai kejutan atas keberhasilan Khairul menjalani masa kuliahnya selama empat tahun.
Kini, usaha mereka untuk memberikan kejutan pada Khairul tidak lah sia-sia. Edy bahagia melihat Khairul berlari sambil tertawa lepas di atas pasir pantai Pasongsongan. Bintang, bulan, deru ombak dan angin malam pantai yang berhembus tenang menjadi saksi kejadian itu. Mereka tertawa, berlari saling mengejar satu sama lain, dan saling melempar pasir.
“Subhanallah, mataku. Edy, tolong mataku  perih,” Khairul tergeletak di atas pasir sambil menahan sakit. Surahman melempar pasir tepat di wajahnya. Wajah Khairul berlilip pasir.
Mereka menghampiri Khairul. Tubuh Surahman gemetar, Sahri dan Edy melihat Khairul berguling-guling menahan sakit di matanya.  “Cak, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Edy cemas.
“Khairul, coba buka matamu, tretan,” pinta Edy, sambil merangkul kepala Khairul.
Surahman hanya berdiri melihat Khairul.
“Ya Allah, saya tidak bisa melihat. Rasanya sakit sekali. Kawan kalian di mana? Jangan tinggalkan saya sendirian di sini,” tutur Khairul sambil memegang matanya dengan kedua tangannya. Dia pun pingsan.
“Tretan, bangun. Bangun, Rul,” ucap Edy sambil menepuk-nepuk pipi Khairul, “Kami di sini bersamamu, tretan. Bangun tretan, jangan buat kami cemas.”
“Kak, kita bawa ke pondok saja,” usul Edy, “Saya khawatir pada keadaannya.”
“Ya, kamu benar. Kita pulang saja. Surahman, kamu jangan hanya berdiri saja. Bantu kami membawa Khairul ke dong-odong,” tutur Edy.
Mereka bertiga mengangkat tubuh Khairul yang tidak sadarkan diri menuju dong-odong. Edy selalu memandang mata Khairul yang terpejam. Dia berharap sahabatnya itu baik-baik saja. Meski mereka tidak tahu akan membawa Khairul kemana untuk memberikan pertolongan. Edy kini menyesal. Rencana besarnya untuk membuat Khairul bahagia kini berubah menjadi petaka. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas perbuatannya itu. Mata yang seharusnya melihat hasil dari usahanya selama ini, kini harus buta sebab perbuatannya. Dia tidak bisa memaafkan dirinya bila itu benar-benar terjadi pada sahabat terbaiknya, Khairul.
Sebelum sampai ke dong-odong, Sahri, Edy dan Surahman berhenti berlari membawa Khairul. Mata mereka menatap wajah Khairul. Dari cahaya rembulan mereka melihat senyum di wajah Khairul. Senyum yang sengaja dia simpan agar tidak tampak. Sudah nampak semua kebohongan Khairul pada sahabat-sahabatnya itu.
“O, jadi kamu membohongi kita semua,” tutur Edy, “Awas kamu!”
“Maaf, tolong turunkan saya, tretan,” pinta Khairul sambil tertawa lepas, “Saya, saya hanya pura-pura pingsan.”
“Jangan kak!” larang Surahman, “Kita lempar saja ke laut biar tahu rasa.”
“Setuju!” tambah Sahri, “Ayo kita bawa, kak!”
Khairul memberontak dan meronta agar bisa terlepas dari tangan mereka, tapi usahanya sia-sia. Mereka begitu kuat mengangkat dan memegang tubuh Khairul. Keinginan mereka untuk meng-eksekusi Khairul ke pantai begitu kuat. Beberapa kali Khairul meminta maaf, tapi usahanya sia-sia. Mereka terus membawa Khairul ke bibir pantai.
“Edy kamu siap?” tanya Edy sambil memegang kedua tangan Khairul
“Ya, tentu, Kak,” jawabnya singkat sambil memegang kaki kiri Khairul.
Khairul terus memberontak dan meronta sambil meminta maaf.
“Surahman, kamu sendiri, gimana?”
“Saya selalu siap, Kak,” tutur Surahman sambil memegang erat kaki kanan Khairul.
Edy sebagai eksekutor mulai menghitung. Semua tenaga mereka kumpulkan sebelum sampai di hitungan ketiga. Mereka terus mengayun-ayunkan tubuh Khairul. Dalam hitungan ketiga, mereka benar-benar melempar tubuh Khairul ke laut. Tubuh Khairul basah kuyub. Mereka tertawa girang melihat Khairul berhasil di eksekusi. Khairul pun juga bahagia melihat sahabat-sahabatnya tertawa bahagia, meski dia harus mengorbankan dirinya. Tiada amarah dalam hati mereka. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka yang selalu ada dalam suka dan duka.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah