Cerpen (8): Permintaan Hidayah

Oleh: Rosidi Achmad*

Kring…..! Kring…..! Kring…..!
Hand Phone Nyai Halimah berdering. Dia mendengar bunyi itu. Kitab Bulughul Marom yang dibacanya dari tadi, dia letakkan di atas meja, lalu menerima panggilan itu, “Assalamua'alaikum,” sapanya sopan sambil mendekatkan hand phone di telinga kanannya.
“Wa'alaikum salam,” tutur penelpon itu dari kejauhan, “Maaf Nyai ini saya, Khotijah.”
“Subhanallah, ternyata Ibu Hj Khotijah. Bagaimana kabarnya, Bu?”
“Alhamdulillah, kami sekeluarga sehat. Kalau Pancenengan  dan keluarga bagaimana?”
“Seperti biasa, semua sehat. Kedengarannya, Ibu sekarang berada di dalam mobil, hendak mau ke mana, sih, Bu?”
“Kami memang berada dalam mobil, kami hendak mau ke rumah Nyai. Kami sekeluarga sekarang hampir tiba di pasar Waru.”
“Betulkah? Kami sangat bahagia mendengar kabar ini, tapi kok mendadak sekali?”  tutur Nyai Halimah sambil memindahkan hand phone ke telinga kirinya, “Coba seandainya ibu memberi kabar pada kami tadi pagi, pasti kami bisa siap-siap sebelumnya.”
“Tidak usah repot-repot. Kami jadi tidak enak, mendingan sederhana asalkan kita bisa berkumpul bersama.”
“Ya sudah, kalau begitu kami tunggu.”
“Sebelumnya kami sampaikan terima kasih. Insya Allah sebentar lagi kami sampai di sana. Assalamualaikum,”
“Wassalamualaikum,” jawab Nyai Halimah. Dan Klik.!Beliau menutup panggilan.
*****
Bukan tanpa alasan kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya terharu. Beberapa kali dia menahan nafas saat membaca kalimat-kalimat dalam novel itu. Karakter perempuan berkerudung merah dalam novel itu mampu menyentuh hatinya hingga membuat matanya berkaca-kaca. Kisah Yusuf dan Perempuan berkerudung merah yang memendam cinta. Cinta mereka tertutup rapat, hanya Allah, Yusuf dan perempuan berkerudung merah yang tahu. Memang, itu semua adalah hikayah. Hikayah yang mampu membawa jiwanya mengalir, saat membaca novel itu, hingga dia tidak sadar bahwa dia sudah berada di lembar terakhir.
“Neng, kenapa termenung seperti itu?” tanya Anis sambil duduk di samping Hidayah, “Neng Hidayah menangis?”
“Saya begitu larut saat membaca novel ini,” Hidayah bangun dari tempat tidurnya, “Karakter tokohnya begitu kuat. Bahasanya sangat ringan dan mudah dimengerti. Jujur, beberapa kali saya sudah meneteskan air mata haru.”
“Walah, Baru kali ini saya lihat Neng seperti itu. Sampai meneteskan air mata lagi,” ucap Anis dengan nada sedikit meledek, “Bukankah Neng tidak suka buku fiksi. Mmm, atau, jangan-jangan karena penulisnya bukan orang sembarangan?"
“Bukan seperti itu, kamu kan juga tahu novel ini adalah milik Khairul, dia juga yang menulisnya.”
“Itulah sebabnya, Neng. Lidah itu boleh bohong, tapi hati tidak akan bisa berbohong. Kalau bukan hati sudah terpaut, maka cendrung kebosanan yang akan melanda. Hati sangat mempengaruhi pribadi seseorang. Apalagi mahabbah melanda hati, pasti semua akan terasa indah. Meski dengan kaki telanjang pun mampu melalui jalan yang penuh dengan kerikil tajam. Badai saja akan berubah menjadi angin sepoi-sepoi basah. Semuanya akan berubah menjadi indah, seindah taman dalam surga Firdaus-Nya. Itulah perasaan, bila hati sudah penuh cinta.”
“O, kamu ingin bilang bahwa saya suka pada Khairul?”
“Tanyalah pada hati Neng sendiri.” 
“Maksudmu?” Hidayah kembali bertanya penasaran.
“Seperti yang saya katakan barusan. Lidah mungkin bisa bohong, tapi hati tidak akan pernah bisa bohong. Apa yang dikatakan oleh hatimu, itulah jawaban saya, Neng,” jawab Anis.
Hidayah kembali tertunduk. Tidak ada kata-kata yang terangkai melalui bibirnya. Hatinya terus membaca istighfar berulang-ulang. Matanya memandang novel yang dipinjamnya pada Khairul di atas mobil, saat mereka tidak sengaja bertemu seminggu lalu.
“Neng, Buk Nyai tadi mencari kamu,” tutur Anis.
“Kenapa kamu baru bilang bila ummi memanggil saya?”
“Saya lupa, Neng. Sebenarnya sudah tadi buk Nyai bilang pada saya saat pulang dari perpus pesantren. Saya minta maaf atas kelalaian saya ini, Neng.”
“Tidak. Kamu tidak salah apa-apa, kok. Saya ke rumah dulu, tapi maukah kamu membantu saya?”
“Apa yang bisa saya bantu, Neng?”
“Tolong novel ini kamu bungkus menggunakan kertas. Di dalamnya ada surat yang saya tulis untuknya. Berjanjilah kamu tidak akan membacanya. Setelah itu kamu berikan pada Hermanto penjaga koperasi pesantren. Suruhlah dia untuk mengantarkan novel ini ke pesantren Al-Fatah di Desa Dempo Barat. Serahkan pada penulisnya, Khairul.”
“Lho, kan, dia mahasiswa di pesantren ini, kenapa tidak dikasih saat jadwal kuliah?”
“Dipastikan dia tidak akan masuk kuliah. Dia sudah menyelesaikan masa kuliahnya. Kamu kan tahu, mahasiswa yang meraih nilai terbaik dan mendapat rekomendasi ikut tes beasiswa di kampus ini bukan siapa-siapa, tapi pemuda yang membantu mencarikan bukumu dulu. Ya sudah, saya mau menghadap ummi dulu.”
Anis menerima novel itu. Hidayah pun pergi dari pondoknya memenuhi panggilan ibunya.
*****
Mobil pribadi keluarga Subhan Rasyid terus melaju menuju kediaman keluarga Kyai Mukhtar. Di dalam mobil mewah warna putih itu, turut serta ayah dan ibunya:  H. Lukman Hakim dan Hj. Khotijah. H. lukman berada di kursi depan dengan sopir pribadinya. Sedangkan Subhan Rasyid dan ibunya berada di kursi tengah. Keluarga pengusaha tersukses di kota Pamekasan itu sangat menikmati perjalanan mereka. Beberapa kali H. Lukman menyuruh sopir pribadinya untuk memperlambat laju mobil agar bisa melihat pemandangan di sekitar jalan yang mereka lalui. Apalagi saat mereka berada di daerah Gangser yang terkenal keindahan sungainya.
“Ma, saya ingin membuat rumah di dekat sungai ini, bila nanti saya sudah nikah dengan Hidayah,” tutur Subhan manja, sambil memandang ibunya.
Ibunya tersenyum. Lalu memandang suaminya yang duduk bersama sopir di kursi depan. Kemudian bicara, “Ayah, apakah kamu denger apa yang dikatakan anak kita ini?”
“Tentu, kita akan buatkan rumah mewah untukmu dan istrimu. Kalau perlu lengkap dengan bandaranya,” jawab ayah Subhan sambil melihat ke arah anak dan istrinya.
Subhan tersenyum bangga mendengar ucapan ayahnya. Lalu kembali memandang ke luar jendela mobilnya.
Memang, kekayaan ayahnya yang melimpah, perusahaan dan pabrik miliknya yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur membuat keluarga itu menjadi orang terkaya di Kabupaten Pamekasan dan sekitarnya. Semua kebutuhan yang dia perlukan selalu terpenuhi; baik sandang maupun pangan.
Rombongan keluarga H. Lukman Hakim tiba di kediaman Kyai Mukhtar. Mereka disambut dengan ramah oleh keluarga pesantren Al-Amin. Beberapa jenis minuman dan makanan seperti Tapai tertata rapi di atas meja. Mereka berkumpul di ruang tamu khusus pesantren.
“Lho, jangan hanya dilihat makanannya,” pinta Kyai Mukhtar, “Silahkan Pak dicicipi Tapai khas Gangser itu.”
“Iya, dipersilahkan dicicipi, bapak dan ibu Lukman,” tambah Nyai Halimah sambil menyodorkan Tapai pada mereka.
Keluarga H. lukman mengambil Tapai itu. Mereka mencicipinya. Ibu H. Khotijah mulai berkomentar, “Di Pamekasan jenis makanan ini sangat sulit didapatkan. Rasanya yang manis membuat orang pada ketagihan dan memburu Tapai seperti ini.”
“Jika begitu, tinggal di sini saja, Buk. Insya Allah, setiap hari akan kami sediakan Tapai yang sebanyak-banyaknya.”
“Ah, Pancenengan bisa saja,” jawab H. Khotijah singkat, sambil tertawa kecil. Semuanya pun turut tertawa.
Dua keluarga itu terus berbincang-bincang. Mula-mula Kyai Mukhtar bertanya tentang keadaan di kota Pamekasan. Beliau juga bertanya pada Subhan tentang perkembangan kuliahnya di Malang. Subhan menjelaskan pada Beliau. H. Lukman begitu bahagia mendengar kecakapan putranya pada Kyai Mukhtar yang tidak lain adalah calon mertua anak kesayangannya.
Berbeda dengan Hidayah yang dari tadi berada dalam kamarnya. Dia melihat perbincangan orang tuanya dan keluarga Subhan dari jendela berkaca hitam yang tak tembus pandang dari luar, tapi Hidayah bisa memandang dengan leluasa dan jelas dari dalam kamarnya.
“Assalamualaikum,” ibu Hidayah mengucap salam sambil mengetuk pintu kamarnya.
“Waalaikum salam,” jawab Hidayah sambil membuka pintu.
“Hidayah, abimu menyuruhmu untuk berkumpul bersama mereka.”
Hidayah menjauh dari ibunya. Tempat tidur yang dia tuju. Dia tidur membelakangi ibunya yang datang dari pintu masuk kamarnya. Nyai Halimah menghampirinya. Dia duduk di sampingnya kemudian kembali berbicara, “Nak, hargailah niat baik mereka. Bukankah tidak sempurna iman seseorang sampai dia mau menghormati tamunya. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya tidak bahagia menjalani hidupnya. Nak, bangunlah. Bergegaslah ke kamar mandi walau hanya membasuh wajahmu dengan air wudlu. Insya Allah, setelah itu hatimu akan kembali tenang. Temui mereka walau sebentar. Keluarga Subhan ingin bicara denganmu.”
Hidayah duduk kembali. Kini dia menatap wajah ibunya dengan senyuman yang dipaksakan sambil bertutur pada ibunya, “Hidayah masih dalam keadaan punya wudlu. Hidayah baru saja melaksanakan shalat ashar. Sebelum Hidayah berkumpul bersama abi dan mereka, maukah ummi menceritakan pada Hidayah. Kenapa ummi dan abi ingin menjodohkan saya dengan Subhan?”
“Almarhum kakekmu dan kakek Subhan dulu pernah nyantri di pesantren Matlaun Najah di Kabupaten Sumenep. Kakekmu begitu bersahabat dengan kakek Subhan. Mereka berkeinginan kelak tidak hanya sebatas sahabat, tapi ingin ada ikatan kekeluargaan. Nah, setelah kakekmu dan kakek Subhan selesai mondok. Kakekmu mendirikan pesantren ini, sedangkan kakek Subhan menjadi pengusaha. Persahabatan mereka begitu kuat, kakekmu dan kakek Subhan saling melengkapi. Mereka pun sama-sama menikah di tanggal dan hari yang sama. Mereka pun berjanji bila punya anak maka akan mereka jodohkan. Hingga akhirnya, kakek Subhan punya satu anak laki-laki dan kakekmu juga punya satu anak laki-laki yaitu abimu. Maka dari itu, kakekmu berwasiat sebelum wafatnya, apabia kelak punya anak untuk dijodohkan dengan anak pak H. Lukman Hakim anak dari Almarhum H. Hakim sahabat dari kakekmu, Kyai Moh. Ilyas. Maka dari itu, temui mereka di ruang tamu. Mereka akan melamarmu. Ummi dan abi tidak bisa memberikan jawaban pada mereka. Semua ada pada dirimu, karena kamu yang akan menjalaninya. Katakan dengan jujur pada mereka. Jangan kamu korbankan perasaanmu, hanya untuk kebahagian ummi dan abi. Bagi kami, kebahagiaanmu adalah yang utama.”
“Ummi,” potong Hidayah sambil menatap wajah ibunya.
“Iya, Nak. Ada apa?”
“Hidayah minta maaf, bila selama ini masih belum bisa membuat ummi dan abi bahagia,” tuturnya sambil menundukan kepalanya.
Nyai Halimah memandang anak kesayangannya, lalu Beliau memeluknya erat-erat, “Tidak, Nak, kita sangat bersyukur memiliki putri sepertimu. Kamu selalu berusaha membahagiakan orang tuamu ini, walau terkadang kamu harus mengorbankan perasaanmu. Semoga Allah membalas pengabdianmu pada ummi dan abi.”
“Ummi, ini semua masih belum cukup untuk membalas jerih payah abi dan ummi selama ini. Kalian sudah melahirkan  dan membesarkan Hidayah dengan penuh kasih dan asuh. Hidayah sangat bersyukur memiliki orang tua seperti kalian. Saya sayang pada kalian."
Nyai Halimah melepas pelukannya.
"Ummi menangis. Kenapa ummi menangis? Apakah anakmu ini sudah berkata salah? Hukum Hidayah, ummi. Hukum Hidayah bila memang seperti itu."
"Ibu mana yang tidak bahagia memiliki putri seperti mu, Nak?" tutur  Nyai Halimah sambil memegang kedua pipi putrinya, "Air mata ini adalah air mata kebahagiaan."
Hidayah menyeka air mata ibunya sambil tersenyum, ibunya juga tersenyum.
Mereka pun melangkah menuju ruang tamu. Tidak lama kemudian mereka sampai juga. Keluarga H. Lukman memandang Hidayah. Subhan  terus menundukan kepala memandang lantai, meski matanya diam-diam memperhatikan calon istrinya.
“Masya Allah, rupanya Hidayah sudah besar, tambah cantik lagi,” sapa Hj. Khotijah sambil merayu, “Sekarang kuliahnya sudah semester berapa, Nak?”
“Al-hamdulillah, sudah semester lima,” jawab Hidayah datar, lalu duduk bersama ibunya di samping kanan Kyai Mukhtar.
Subhan  tertegun mendengar suara Hidayah. Dia merasa ada getaran hebat masuk saat mendengar suaranya. Dia tetap menundukan kepala.
“Mumpung semua sudah berkumpul, alangkah baiknya bila saya langsung menyampaikan pada Hidayah maksud dan tujuan kami datang," tutur H. Lukman langsung pada pokok pembicaraan, "Begini Nak, maksud kedatangan kami hari ini tentu ingin bersilaturrahim. Selain itu, kami ingin  melamarmu. Besar harapan kamu mau menerima lamaran ini, karena kami pikir nak Hidayah dan Subhan sudah lama bertunangan. Atas dasar itu, menurut saya, alangkah baiknya bila hubungan kalian diikat dengan tali pernikahan."
Hidayah kembali memandang wajah kedua orang tuanya. Dia menghela nafas lalu membaca basmalah dalam hatinya, “Saya sangat bahagia mendengar kabar ini. Hati saya sudah ikhlas menerima bila saya harus bersuamikan Mas Subhan.”
“Betulkah kamu menerima lamaran saya Hidayah?” tanya Subhan.
“Insya Allah, tapi ada satu permintaan.”
“Apa permintaan itu, nak? Kamu berhak memintanya pada kami,” tanya  ibu Subhan, “Insya Allah kami akan memenuhinya. Katakana saja jangan sungkan!”
“Sebelum saya menikah dengan Mas Subhan, idzinkan saya mondok ke pesantren Al-Fatah.”
“Mondok?” tanya Subhan singkat.
“Iya, saya ingin mondok,” jawab Hidayah
Nyai Halimah dan Kyai Mukhtar mendengar pembicaraan putrinya.
“Kamu tidak ingin menghindar dari saya, kan? Atau kamu  ragu pada kesetiaan dan tanggung jawab yang saya miliki? Yakinlah, dengan pengalaman empat tahun di bangku kuliah yang telah saya tempuh, pasti saya mampu membahagiakanmu.”
“Subhan, jangan kamu bilang seperti itu pada Hidayah,”  potong ibu Subhan, “Biarkan dia bicara dulu.”
“Saya hanya ingin  menjadi istri yang selalu menyenangkan hati Mas Subhan kelak. Seperti apa yang dilakukan oleh Siti Khatijah pada Rasulullah atau seperti Sulaikha pada Nabi Yusuf. Mereka menjadi wanita mulia karena selalu berusaha menyenangkan hati suaminya. Dan mereka begitu sabar menemani perjuangan mereka untuk menegakkan agama Allah. Memang, di balik laki-laki hebat pasti di belakangnya ada wanita hebat, tapi bagaimana saya bisa menjadi istri yang baik dan membantu Mas Subhan menjadi pria hebat dan bermamfaat di tengah masyrakat, bila saya tidak memiliki pengetahuan tentang agama? Bukankah sesuatu  yang kecil sekalipun seperti bersuci sampai yang besar seperti ibadah pada Allah semua pasti ada ilmunya, maka dari itu saya ingin memperdalam ilmu dan mencari berkah Allah di pesantren Al-Fatah yang saya maksud, walau hanya satu tahun atau dua tahun. Saya mondok hanya ingin memperdalam ilmu agama di pesantren yang saya maksud. Ini semua saya lakukan hanya untuk mempersiapkan diri agar menjadi istri yang baik dalam rumah tangga yang akan Mas pimpin kelak,” tutur Hidayah sambil menundukkan kepalanya.
“Lalu, bagaimana dengan kuliahmu, bila kamu mondok di sana?” tanya ibu Subhan khawatir.
“Insya Allah saya akan tetap kuliah. Saya akan naik angkot dari Dempo menuju Gangser.”
“Biar saya saja yang mengantar dan menjemputmu," usul Subhan, "Kebetulan saya tidak ada jadwal kuliah untuk tahun ini, yang ada paling cuma nunggu jadwal wisuda."
“Tidak usah  Mas, terimakasih,” Hidayah menolak, “Insya Allah saya sudah terbiasa berjalan sendiri, karena setiap hari ummi selalu nyuruh saya ke pasar untuk belanja. Lagian jadwal kuliah saya tidak begitu padat, hanya hari sabtu dan minggu, lebih baik Mas kembali lagi ke Malang untuk mempersiapkan wisudamu.”
“Baiklah, bila itu permintaan nak Hidayah, Insya Allah kami akan sabar menunggu," tutur ibu Subhan bijak, "Lagi pula kami juga ingin pernikahan kalian adalah pernikahan yang benar-benar timbul dari keinginan kalian berdua. Hidayah benar, semuanya butuh ilmu. Subhan, ternyata kamu harus banyak belajar dari Hidayah."
“Terimakasih, Ma. Insya Allah saya akan menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.”
“Sama-sama, Nak. Belajarlah yang giat di sana.”
Hidayah kembali menganggukkan kepala sambil melirik wajah ibu dan ayahnya yang tersenyum. Senyum yang tidak dapat dia pahami maknanya. Mungkinkah  senyum itu adalah senyum bangga karena memiliki putri sepertinya atau sebaliknya?
“Lho, silahkan Pak H. Lukman minum lagi tehnya,” pinta Kyai Mukhtar bermaksud mengalihkan perhatian, ”Tapainya juga jangan lupa dicicipi sekalian.”
“O, tidak usah, semua sudah lebih dari pada cukup,” tukas H. Lukman sambil melirik jam tangannya, “Kami mohon pamit pulang saja, nampaknya maghrib sudah hampir tiba.”
“Tunggulah saja sebentar lagi, maghrib sudah hampir tiba. Kita shalat berjemaah bersama santri saja di masjid sekalian,” pinta Kyai Mukhtar.
“Maksud hati ingin sekali berlama-lama bersama Pancenengan, tapi saya harus pulang. Besok pagi-pagi sekali saya harus berangkat ke Surabaya untuk ngecek proyek pembangunan pabrik gula saya yang baru.”
“O, iya kami tunggu di Pamekasan. Kira-kira kapan Kyai, Nyai dan Hidayah akan main ke Pamekasan,” tanya ibu Subhan.
“Insya Allah, kami pasti main ke rumah ibu,” tutur ibu Hidayah.
“Ya sudah bila itu memang ke inginan bapak H. Lukman, kami tidak bisa mencegatnya. Sekali lagi terimakasih sudah berkunjung ke rumah kami.”
“Seharusnya kami yang berterimakasih,” tutur H. Lukman, “Karena sudah membuat repot keluarga Pancenengan.”
Dua keluarga itu pun saling bersalaman.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah