Cerpen (6): Suasana di Pesantren Al-Amin

Oleh: Rosidi Achmad*

Nyai Halimah sedang menyiapkan makanan bersama beberapa santri putri di dapur pesantren putri. Makanan-makanan itu mereka  siapkan untuk masyarakat yang datang pada Kyai Mukhtar. Tidak kurang dari dua puluh sampai lima puluh orang datang setiap hari. Keperluan mereka beragam. Ada yang hanya sebatas silaturrahim dan juga ada yang ingin memondokkan putra-putrinya, bahkan ada yang ingin menanyakan  tentang agama pada pengasuh yang murah hati itu.
“Assalamuaaikum, Ummi,” Hidayah memanggil salam sesampainya di depan pintu dapur.
Nyai Halimah menoleh dan menatap ke arah pemilik suara itu. Dia meletakkan pisau dan wortel yang baru dipotongnya, lalu menjawab bahagia sambil berjalan ke arah Hidayah, “Waalaikum salam. Aduh, putri ummi sudah datang.”
“Maaf, ummi sudah menunggu lama, abis mobil yang saya tumpangi melaju pelan.”
“Yang penting kamu selamat, ummi sudah bahagia,” jawab ibunya sambil mengambil belanjaan yang dibawa oleh Hidayah, “Bukankah ummi juga bilang sebelum kamu berangkat, agar kamu meminta bantuan santri untuk ke pasar.”
“Kan ummi sendiri yang ngajarin. Selama kita mampu melakukan dengan tangan kita sendiri, kenapa kita harus meminta bantuan orang lain.”
Nyai Halimah kembali tersenyum mendengar jawaban putrinya. Hidayah pun turut tersenyum karena bisa membahagiakan hati ibunya. Baginya kebahagian ibunya adalah segala-galanya.
“Wah, kamu juga beli buku materi kampusmu, ya?”
“Tidak, ummi. Ini Novel. Tadi saya pinjem pada temen saat tidak sengaja bertemu di atas mobil yang kita tumpangi.”
“O, kira-kira cowok apa cewek?” tanya ibunya sambil berguyon, “Siapa namanya?”
“Mmm, ummi, ada aja. Rahasia, dong,” tutur Hidayah manja sambil mengecup pipi ibunnya. Lalu dia berlari kecil menuju pondok dengan sejuta kebahagiaan memenuhi hatinya.
“Hidayah, tunggu sebentar, Nak.” panggil ibunya.
Dia berhenti dan menatap ibunya bahagia, lalu bertutur, “Ada apa lagi ummi tersayang?”
“Hidayah. Insya Allah Subhan Rasyid dan keluarganya akan bermain ke sini minggu depan.”
Hidayah menghela nafas. Dunia seakan sempit terasa.  Wajahnya tertunduk lesu. Sinar kesemangatan yang muncul dari kedua mata indahnya pun redup.
“Hidayah, kamu kenapa, Nak?” tanya ibunya.
Hidayah pun terjaga dari lamunnya. Wajahnya dia paksa untuk tersenyum. Tidak ada kata-kata yang terangkai dari bibirnya. Dia menganggukkan kepala. Ibunya pun tersenyum. Hidayah kembali melangkah ke pondok pribadinya untuk membaca Idhafah Cinta Khairul Mufid yang baru saja dia pinjam di atas mobil.
*****
Seorang mahasiswa berbaju biru berlari menuju kantin, sambil berteriak-teriak memanggil nama Khairul. Seluruh pelanggan kantin Al-Amin kaget bukan main. Mereka melihat ke arah mahasiswa berbaju biru itu, yang tidak lain sahabat Khairul, Yanto. Dia satu jurusan dengan Khairul, matematika. Teman-temannya biasa memanggil namanya dengan sebutan Anto.
“Khairul, saya bahagia sekali hari ini. Alhamdulillah,akhy.”
“Ada apa, toh?” tanya Khairul sambil berdiri dari duduknya, “Seperti orang lagi dikejar serigala saja.”
Anto menarik nafas sebelum bicara. Setelah benar-benar tenang dia berkata sambil memegang bahu Khairul, “Tretan, saya sangat bahagia hari ini. Nama kita terpampang di papan informasi kampus. Kita mendapat rekomendasi ikut beasiswa di Jember. Kita akan pergi ke Jember, kawan. Dan kamu adalah mahasiswa peraih I.P.K tertinggi dari semua mahasiswa semester akhir di semua jurusan.”
“Betulkah, kamu tidak membuat-buat, kan?” Khairul bertanya, meminta kepastian.
“Kapan saya pernah bohong padamu kawan? Bila kamu tidak percaya, mari kita lihat sama-sama,” tegas Anto.
Mereka berangkat menuju papan informasi itu. Mereka berlari begitu cepat. Khairul masih membayangkan ucapan Anto. Dia masih tidak percaya bahwa IPK-nya teringgi dari semua jurusan semester akhir. Mereka berlari dan terus berlari.
Semua mahasiswa semester akhir memenuhi halaman kantor kampus Al-Amin. Suasana begitu ramai. Mereka bersorak gembira saat mengetahui hasil jerih payah mereka selama empat tahun duduk di bangku kuliah. Khairul dan Anto terus menerobos masuk ketengah keramaian itu. Mereka rela berdesak-desakan dengan mahasiswa lain. Suasana begitu ramai. Khairul terus berada di belakang Anto. Dia melihat keringat memenuhi leher sahabatnya itu, karena suasana yang sangat ramai. Laksana jemaah haji yang sedang bertawaf.
“Saya rasa, lebih baik kita lihat nanti saja informasi itu,” pinta Khairul.
“Apa, Rul? Saya tidak denger apa yang kamu katakana. Terlalu ramai. Sebentar lagi kita sudah sampai di depan.”
Akhirnya mereka sampai juga.
“Lihatah, di jurusan matematika kamu ada di urutan pertama. Sedangkan namaku ada di urutan delapan belas. Dan lihatlah pula yang ini. Ini adalah rekapituasi semua mahasiswa mulai dari jurusan matematika, Tarbiyah, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PPKn, PAUD dan TIK. Nama Khairul Mufid, sahabat saya dari jurusan matematika menjadi mahasiswa peraih IPK tertinggi di tahun akademik 2015 dari 1947 mahasiswa semester akhir. Lihatlah kawan. Dan ini adalah daftar nama mahasiswa yang mendapat rekomendasi untuk ikut tes beasiswa di Jember,” tutur Anto dengan semangat menggebu. Tiba-tiba, Anto memeluk Khairul yang sedang terpaku melihat namanya sambil berkata penuh haru, “Selamat kawan. Barokallah, barokallah.”
Tanpa terasa mata Khairul berkaca-kaca dalam pelukan sahabatnya. Hatinya terus memanjatkan syukur pada Allah. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang dia lihat di papan informasi di depannya. Semua pengorbanan selama empat tahun tiba-tiba terputar kembali dalam ingatannya. Empat tahun dia berpacu dengan waktu, menumpahkan tinta di atas kertas putih, bergelut dengan buku-buku dan berpacu bersama jarak antara Dempo  dan Gangser. Dia merasa mimpinya sudah berada di depan mata, meski dia juga tahu, sesungguhnya perjuangannya baru saja dia mulai.
Azan zuhur dari masjid Al-Amin pun menggema, mengakhiri dari semua keramaian. Tentunya melanjutkan semua kebahagiaan dan syukur Khairul dalam dengkur do'a yang tersulam dalam rentetan kalimat tasbih. Alhamdulillah. Mata Khairul berkaca-kaca.
=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah