Cerpen (5): Pertemuan Kedua

Oleh: Rosidi Achmad*

SEMUA SANTRI pesantren Al-Fatah bersiap menuju tempat talim. Baju putih senada dengan kopyah dan sarung biru teduh yang mereka kenakan membuat pemandangan pesantren Al-Fatah tampak berbeda. Tangan-tangan mereka membawa  kitab dengan penuh tadzim. Wajah mereka memancarkan aura kebahagiaan. Sesekali mereka saling menyapa walau sekedar mengucap salam.
Seperti biasa, hari Minggu adalah jadwal kitab Talimul Mutaallim dan Bulughul Marom. Dua kitab itu menjadi wiridan Kyai Hamid setiap pagi. Ada banyak hikmah yang terkandung dalam kitab itu. Para santri begitu semangat untuk mengikuti kajian Beliau, meski hari ini Beliau tidak hadir karena masih ada di rumah sakit menemani putrinya, Fitria Yasmin. Beruntung, Zainuddin mengisi kekosongan waktu dengan membaca nadham-nadham Al-Fiyah. Suara santri mengalun merdu ke seluruh penjuru pesantren Al-Fatah.
Sedangkan Khairul kelihatan sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk kuliah. Dia memakai baju bermotif kotak-kotak lengan panjang dan celana warna hitam, saat semua santri memakai sarung dan baju putih. Itu semua dia lakukan untuk memenuhi kewajiban sebagai salah satu mahasiswa di pesantren Al-Amin: hari Jumat, sabtu dan seperti hari ini, minggu.
“Wah, Cak Khairul sudah pada siap berangat ke kampus Al-Amin,” tutur Surahman sambil memandang jam di atas lemari. “Sekarang kan masih jam enam pagi, kok pagi bener, Cak?” lanjutnya sambil melirik jam dinding.
“Hari ini saya harus berangkat pagi, soalnya takut telat. Sekarang hari minggu. Biasanya jika berangkat siang, di pasar Waru pasti macet. Apalagi hari ini adalah informasi mahasiswa yang dapat rekomendasi ikut tes beasiswa di Jember. Sekalian nanti saya mau ke kantor pos untuk ngirim naskah ke penerbit,” tutur Khairul dengan semangat. “O, iya, nanti jangan lupa masak nasi. Hari ini memang jadwal kamu masak, kan? Masalah sambal biar saya nanti yang beli pas sepulang dari kampus,” lanjutnya sambil meraih tas ransel di atas lemari lalu memasukkan naskah novelnya.
“Cak Khairul tenang saja. Serahkan semua pada saya, semoga namamu tercantum di daftar itu,” tegas Surahman sambil tersenyum cerdik. Khairul turut tersenyum, lalu dia pergi ke luar pondok menuju kampus kesayangannya, Al-Amin.
*****
Dia sabar menunggu. Wajah putih dengan mata bulat terbalut kerudung coklat itu jelas terlihat mempesona, walau sudah mengeluarkan keringat tipis. Dia berusaha berlindung dari sengatan matahari. Kulitnya yang tipis tidak mampu menahan cahaya mentari yang sudah mulai meninggi. Matanya terus memperhatikan beberapa angkot di jalan raya Waru. Jam menunjukan pukul Sembilan kurang tujuh menit, itulah yang dia tahu setelah melihat jam tangannya. Masyarakat yang datang dari berbagai daerah mulai memenuhi area pasar Waru. Pasar Waru adalah pasar tradisional terbesar di Kabupaten Pamekasan. Nama pasar itu diambil dari kecamatan itu sendiri, Waru.
Dia terlihat bahagia bercampur syukur saat mobil L300 datang. Mobil itu hendak bertolak dari pasar Waru menuju daerah Batu Bintang. Mobil itu adalah transportasi umum paling murah dan aman pilihan masyarakat. Dia naik ke mobil itu sambil menenteng dua plastik berukuran sedang. Dengan susah payah dia menuju kursi kosong di belakang. Akhirnya dia sampai juga. Dia mulai menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil sambil sedikit menarik nafas. Sesekali dia menatap sopir mobil yang akan membawanya menuju daerah Gangser dimana tempat dia tinggal. Matanya melihat  satu persatu penumpang di dalam mobil itu. Sekali lagi dia bersyukur, karena dia sendirian duduk di kursi paling belakang, walau sebenarnya masih bisa ditempati tiga orang lagi.
Asap rokok dari penumpang di kursi tengah membuat pernafasannya sedikit sesak. Ditambah bau ikan penumpang seolah menyengat hidungnya. Meski begitu, dia terus berusaha untuk nyaman, karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada yang dia lakukan kecuali pasrah dan bersyukur. Ya, bersyukur sebab dia masih beruntung bisa cepat menemukan angkot, karena bisa saja dia harus menunggu berjam-jam.
Tiba-tiba, seorang penumpang berbaju kotak-kotak masuk. Penumpang itu membawa buku tebal di tangan kanannya. Matanya memperhatikan ruangan mobil. Dia mencari bangku kosong untuk tempat duduknya. Akhirnya dia melihat bangku belakang di mana perempuan berkerudung coklat tadi duduk. Dengan susah payah pemuda itu menuju kursi. Ups, akhirnya dia sampai juga. Dia duduk di sebelah kanan perempuan tadi.
Mobil itu pun melaju menuju Batu Bintang.
Waru dan Batu Bintang adalah dua Kecamatan di kabupaten Pamekasan. Jarak dua kecamatan itu dua kilo meter. Dan bisa ditempuh kira - kira satu jam menggunakan transportasi umum. Desa Ponjanan dan Gangser akan mereka lewati baru sampai di daerah kecamatan Batu Bintang.
Di tengah perjalanan, pemandangan alam yang sangat indah akan memanjakan mata penumpang. Bukit-bukit nan elok dengan ribuan satwa cantik akan mereka lihat saat mereka berada di daerah Ponjanan. Tidak kalah indahnya saat berada di daerah Gangser yang terkenal akan sungai-sungai indah dan air terjun kecil. Itu semua bisa membuat mata siapa saja tidak berkedip ketika melihat keindahan yang terbentuk dari pahatan alam itu.
Para penumpang mobil L300 tidak menyianyiakan keindahan alam itu. Begitu pula dua orang penumpang di bangku belakang. Mereka sangat terpana melihat alam indah Madura dari jendela mobil. Tidak ada sapa menyapa, yang ada hanya merenungi diri, betapa Agung Kuasa Allah, hingga bisa menciptakan keindahan itu.
Apalagi penumpang berbaju kotak-kotak yang dari tadi begitu terpana pada keindahan itu. Dia melihat pohon-pohon seperti berlarian menjauh membelakangi mobil yang membawanya. Sesekali dia membaca buku di tangannya. Diam-diam, perempuan berkerudung coklat memperhatikan pria itu. Tanpa sepengetahuannya, pemuda itu bertanya, “Maaf, numpang nanya, kira-kira sekarang jam berapa?”
“Anu, sekarang,” perempuan itu sedikit kaget. Dia melihat jam tangannya. Lalu memandang pemuda itu. Kemudian berkata kembali dengan nada tenang, “Sekarang sudah jam sepuluh,” jawabnya singkat. Lalu kembali memandang keluar mobil.
“Maaf, sepertinya saya kenal Mbak,” ucap si pemuda. Perempuan itu kembali memandang wajah si pemuda. Dia tersenyum. Pemuda itu mengikutinya. Dia tidak melanjutkan membaca buku. Lalu berkata penuh bahagia, “Neng Hidayah. Kamu Neng Hidayah, kan? Teman Anisatul Adhawiyah jurusan tarbiyah itu?”
Hidayah berpikir sejenak. Dia memandang lekat-lekat wajah pemuda itu. Tiba-tiba pikrannya ingat saat hujan di masjid. Waktu itu ada mahasiswa membantu mencari buku Anis yang hilang. Dia tersenyum sambil bertutur, “Masya Allah, kamu Khairul Mufid. Pemuda yang sudi kehujanan untuk menolong dua orang perempuan yang belum kamu kenal ketika itu? Saya tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi. Bila boleh tahu, kamu tahu dari siapa nama saya?”
“Saya tahu dari sahabatmu, Anis.”
“O, Anis,” tukas Hidayah singkat.
“Kemaren saya bertemu dengan Anis. Lalu dia cerita banyak tentang Neng. Makanya saya tahu nama Neng adalah Hidayah binti Kyai Mukhtar pengasuh Ponpes Al-Amin. Pesantren di mana saya kuliah dan mengais barokah saat ini. Merupakan sebuah kebahagian bagi saya bisa berbicara dengan Neng Hidayah. Meski sejujurnya saya begitu merasa cangkolang.”
“Ai, jangan berlebihan seperti itu.”
“Maaf, Neng. Insya Allah, saya juga tahu  syarat untuk mendapat ilmu yang bermamfaat ada caranya. Pertama, kita harus menghormati ilmu kita. Kedua, menghormati kitab-kitab kita. Ketiga, kita harus menghormati guru kita. Nah, termasuk memulyakan guru kita adalah memulyakan keluarganya.”
Hidayah tertegun mendengar penjelasan Khairul. Dia merasa penyampaiannya sama dengan kitab Talimul Mutaallim. Kemudian Hidayah kembali bertanya, “Kalau tidak salah, saat kita pertama bertemu di depan masjid kamu bilang mau pulang ke pesantren, sebetulnya kamu nyantri di pesatren mana?”
“Saya nyantri di pesantren Al-Fatah Dempo. Pesantren yang nama pengasuhnya adalah Kyai Hamid.”
“Kamu putra Kyai Hamid?”
Khairul tersenyum mendengar pertanyaan Hidayah, lalu Khairul bertutur sambil menatap wajah Hidayah, “Mana mungkin orang seperti saya adalah putra Kyai. Saya hanya anak dari seorang petani yang kebetulan  nyantri di pesantren Al-Fatah. Di sana saya bukan siapa-siapa, ustaz pun bukan apalagi putra Kyai. Di pesantren saya hanya seorang santri biasa yang setiap harinya hanya melayani para santri dan menjadi tukang ngumpulin botol plastic bekas ketika di luar jam kegiatan pesantren.”
“Ah, jangan merendah seperti itu,” tutur Hidayah.
Khairul menyandarkan tubuhnya kekursi. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu dikeluarkan kembali. Sejenak dia memejamkan mata. Deru suara mobil L300 yang dia tumpangi begitu terdengar di telinganya.
“Khairul, kenapa diam?” selidik Hidayah, “Apakah ucapan saya membuatmu tersinggung?”
“Saya tidak bermaksud merendah diri,” tutur Khairul sambil memandang wajah Hidayah, “Jujur, saya sayang pada diri saya ini. Saya ingin membuat saya ini dipandang terhormat. Namun apa saya harus berbohong untuk membuat saya ini terhormat. Saya hanya ingin orang melihat saya apa adanya. Bukan karena saya keluarga dari orang terhormat atau sebaliknya. Menurut saya, hidup di atas kaki sendiri itu lebih indah, dari pada hidup di atas kaki orang lain.”
Jantung Hidayah berdetak hebat. Dia seolah menemukan hati yang lama hilang darinya. Entah kenapa dia ingin cepat sampai ke Gangser, saat dia ingat bahwa dirinya adalah seoarang wanita yang memiki pengetahuan tentang agama. Dan jelas dalam agama pria dan wanita memiliki batasan, tapi di sisi lain dia tidak ingin jauh dengan Khairul yang mampu membuat malamnya begitu panjang. Sosok yang mampu menggantikan Subhan tunangannya sendiri di hatinya. Dia ingin lebih dekat dan tahu tentang pemuda itu.
“O, iya, hari ini tidak ada jadwal kuliah?”
“Anu, saya nanti masuk sore,” jawabnya gelalapan, sambil matanya melihat tangan Khairul yang sedang memegang sebuah buku. Dia pun kembali bicara, “Wah, buku apa yang kamu pegang itu, skripsi, ya?”
“Buku ini bukan skripsi, tapi ini sebuah novel,” jawab Khairul bebas. Sebebas mobil L300 yang ditumpanginya  melaju di atas jalan aspal di daerah Ponjanan.
“Wah, boleh saya melihatnya?”
“Boleh,” jawab Khairul sembari menyodorkan novelnya.
Hidayah menerima novel itu. Dia tersenyum saat melihat judulnya. Khairul hanya memperhatikan Hidayah yang leluasa melihat lembar demi lembar novel yang ditulisnya. Hidayah kembali memandang Khairul sambil bertutur, “Wah, Idhafah Cinta, judulnya sangat unik. Kamu sungguh luar biasa sudah bisa menulis novel. Jadi penasaran ingin baca.”
“Neng Hidayah suka baca buku fiksi?”
“Mmm, jujur sih, sebenarnya saya kurang suka baca buku fiksi,” tutur Hidayah sambil tersenyum, “Tapi saya akan membaca karya mahasiswa Al-Amin di depan saya ini. Siapa tahu di kemudian hari saya ketularan dapat menulis sepertimu.”
“Ah, Neng Hidayah bisa saja.”
“Bisa dijelaskan bagaimana kamu bisa memiliki ide sebagus ini?”
“Judul itu terinspirasi dari kitab Al-Fiyah yang ditulis oleh syeikh Ibnu Malik. Tentu, Neng Hidayah tahu arti dari Al-Fiyah adalah seribu. Di kitab itu juga ada seribu bait dasar ilmu nahwu. Dan diantara seribu bait itu ada bab tentang idhafah. Idhafah adalah gabungan dari dua isim sehingga menjadi satu. Isim yang pertama adalah mudhaf, sedangkankan isim yang kedua disebut mudhaf ileh. Saya yakin Neng mengerti maksud saya. Nah, dari sanalah saya mendapat inspirasi menulis. Novel itu adalah pengembangan karya tulis ilmiah sebelumnya. Alhamdulilah karya tulis ilmiah itu mendapat juara dua se-Madura. Lumayan, kan? Judulnya Modernisasi Sistem Pembelajaran Nahwu dan Bahasa Inggris di pesantren. Nah, atas dasar itu, saya mencoba mengembangkannya dalam bentuk novel. Isinya mengupas tentang pentingnya Nahwu dan bahasa Inggris di masa kini. Bahkan saya menyuguhkan dua latar dalam novel itu, yaitu Madura dan Bali. Novel itu adalah novel pendidikan dan budaya tentu dengan bumbu cinta ala pesantren. Dengan tokoh utamanya saya beri nama Yusuf. Nama itu saya tulis untuk mengenang nama seorang nabi, nabi Yusuf yang baik dan amanah,” tutur khairul panjang lebar.
Mobil L300 terus melaju di atas jalan Ponjanan. Mobil itu seperti membelah udara panas. Begitu pula dengan Hidayah yang terus bertanya pada Khairul, “Kenapa kamu tidak kirim ke penerbit?"
“Tadi saya memang berencana seperti itu, tapi kantor pos Waru masih tutup.”
“Kamu serius saya boleh membacanya?”
“Silahkan, nanti saya minta pendapat, Neng. Gimana?”
“Baiklah, saya akan mencoba membacanya,” tutur Hidayah.
Hidayah mulai membuka halaman pertama. Kata demi kata dia baca dengan hikmat. Entah kenapa dari alinea ke alinea lainnya. Dari halaman ke halaman selanjutnya dia merasa mengalir bersama alur dalam novel itu. Dia mulai merasa bahwa dia menjadi tokoh utama dalam novel itu. Tak urung dia ikut sedih saat tokoh Yusuf dikiaskan dalam kesedihan. Dan turut bahagia saat Yusuf bahagia. Membaca novel itu, perasaan Hidayah ikut mengalir dan melaju tanpa henti. Seperti mobil yang dia tumpangi yang terus melaju menuju daerah Batu Bintang dengan tenang.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah