Cerpen (4): Kekuatan Cinta

Oleh: Rosidi Achmad*

Seorang gadis dengan sorot mata indahnya terus menatap bulan yang hampir tertutup awan. Dia rela berselimut udara dingin, sambil menyaksikan gerimis turun membasahi halaman rumahnya. Jubah coklat teduh dan jilbab ungu melindunginya dari dingin malam. Itu semua dia lakukan untuk merenungi betapa tunduk bulan pada Sang Ilahi Robbi. Bulan yang tidak pernah mengeluh saat diperintah untuk menerangi malam. Bulan yang selalu teratur mengelilingi bumi serta mengelilingi matahari bersama bumi.
Dia sadar dan yakin. Keteraturan itu terjadi bukan dengan tiba-tiba. Ada dzat Maha Sempurna yang mengatur bagaimana malam dan siang berganti. Mengatur bagaimana bumi dan planet-planet berputar. Mengatur bagaimana langit membentang tanpa tiang. Dan mengatur bagaimana gunung tinggi menjulang. Tidak ada makhluk yang mampu melakukan itu, apalagi manusia. Sifat manusia yang dhaif tentu menjadi alasannya. Dia-lah Tuhan semesta alam yang mampu melakukan itu.
"Astaghfirlah!" gadis itu membaca istighfar di tengah rasa kagumnya atas kuasa ilahi Robi. Alangkah luar biasa Tuhan menciptakan ini semua. Itu adalah satu bukti. Tuhan itu satu. Bagaimana mungkin keindahan bulan diciptakan oleh dua Tuhan. Tuhan satunya menciptakan Bulan dan tuhan yang kedua hanya berpangku tangan, misal. Alhasil, kelak akan terjadi perselisihan. Tuhan yang lain merasa paling berkuasa. Bila sudah sedemikian, maka tidak ubahnya dengan makhluk. Hanya Tuhan yang satu, dan tak mungkin ada duanya. Selamanya akan tetap satu.
Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan  yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Hanya dengan berpikir seperti itu dia sedikit menemukan kedamaian. Memang, pikirannya tidak tahu arah, hingga membuat dia berada di antara GEGANA alias gelisah, galau, merana. Itu semua terjadi sebab seraut wajah selalu membayanginya. Dan kini pikiran yang selalu merasa damai dengan kesendirian, telah terpaut pada seraut wajah yang enam hari lalu telah menjajah hatinya. Dia tertawa geli dan tersenyum-senyum sendiri, saat dia mengingat pria itu menyebutkan  namanya di tengah hujan, Khairul, nama saya adalah Khairul Mufid, itulah kata terakhir yang masih melekat di memorinya. Ah, inikah getaran cinta? Ataukah hanya sebatas rasa kagum semata? Seperti itu pertanyaan yang sering muncul saat gadis itu merenung menatap bulan.
“Hidayah, ummi perhatikan dari tadi kamu senyam-senyum sendiri. Kalau ummi boleh tahu, kamu sedang mikirin apa, Nak?” tanya Nyai Halimah. Dia duduk di samping Hidayah, “Udara begitu dingin. Tidak baik berada di teras rumah. Nanti masuk angin lagi. Masuk saja ya, Nak....” tambahnya.
“Mmmm, ummi, saya hanya ingin memandang bulan,” jawab Hidayah manja.
“Wah, mandang bulan kok sambil senyum-senyam seperti itu?”
Hidayah hanya diam. Dia merasa  ibunya bisa membaca apa yang dia rasa.
“Atau di bulan itu terlukis sesosok wajah yang mampu membuat anak ummi ini tersenyum sendiri dari tadi?” tanya ibu Hidayah sambil memandang bulan. Lalu kembali memandang Hidayah dengan senyum yang kemudian Hidayah turut tersenyum kembali sambil memandang wajah ibunya. Kepalanya mulai dia rebahkan di pangkuan ibunya. Kedua matanya tetap memandang bulan sambil menikmati belayan lembut seorang ibu yang penuh kasih sayang. Kemudian ibu Hidayah kembali bicara, “Nak, setiap insan di dunia pasti memiliki rasa cinta. Banyak orang yang menjadi hebat sebab karena cinta, tapi tidak sedikit pula yang hidupnya hancur oleh karena cinta. Cinta memang aneh, nak. Lihatlah Islam tumbuh seperti yang kita rasakan ini oleh karena cinta. Yang cinta itu tumbuh dari nabi Muhammad pada ummat manusia. Dan lihatlah kehancuran dan kerusakan oleh karena cinta. Manusia yang menghamba pada kepalsuan yang semua itu muncul karena cinta mereka pada keburukan dan kesesatan. Lihatlah! Berapa banyak bayi yang terbunuh. Begitu banyak seorang anak  tega membunuh ibu kandug mereka sendiri, itu semua terjadi karena cinta.”
“Ummi, tapi dia beda.”
“Beda?” tanya Nyai Halimah, “Maksudmu, dia bukan Subhan Rosyid, kan?” lanjutnya.
Hidayah mengangkat kepalanya dari pangkuan ibunya. Dia merasa menyesal atas pengakuannya, dia gelisah mencari jawaban. Terbesit dalam hatinya untuk berbohong, tapi dia tidak bisa melakukan itu, apalagi di depan ibunya sendiri. Dia memilih diam tanpa bahasa sambil menatap halaman yang sudah basah sebab gerimis  berkepanjangan.
“Nak, tatap wajah ummi,” tutur ibunya sambil mendongakkan wajah Hidayah, “Siapa pria itu, Nak? Jujur pada ummi. Bukankah kejujuran akan mendatangkan kebaikan dan kebohongan akan mendatangkan kemudaratan.”
Hidayah kembali menatap bulan yang kini sudah benar-benar bersembunyi di balik  awan. Lalu menjawab pertanyaan ibunya, “Dia adalah Khairul Mufid.”
“Khairul Mufid” selidik ibu Hidayah, “Dari mana pemuda itu?”
Hidayah kembali merebahkan kepalanya di pangkuan ibunya. Ibunya mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba Hidayah kembali mengingat  saat Khairul berlari di bawah hujan untuk mengejar mahasiswi yang membawa buku Anis. Saat Khairul memberikan buku itu di depan masjid juga dia ingat. Semua terputar kembali dalam ingatannya. Beberapa saat kemudian, Hidayah pun kembali bicara, ”Saya tidak tahu dia dari mana, tapi Saya melihat ketulusan dalam pemuda itu begitu besar. Saya juga merasa dia sangat peduli dan bertanggung jawab.”
“Nak, kamu tidak bermaksud untuk berusaha melupakan tunanganmu, Subhan Rosyid?”
Mendengar pertanyaan itu, Hidayah langsung menatap wajah ibunya. Dia mulai bingung. Sejuta beban yang ada dalam pikirannya membuat hatinya turut berat. Dia tidak ingin membuat orang tua yang sangat disayanginya kecewa. Selama ini, dia selalu berusaha untuk membuat kedua orang tuanya selalu tersenyum dan bangga memiliki putri seperti dia, meski dia harus mengorbankan perasaannya. Dia tidak menyukai tunangan pilihan orangtuanya, hanya saja dia tidak mampu mengungkapkan pada mereka. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang merembes diantara kedua matanya.
“Hidayah, rizki, jodoh dan ajal semua Allah yang menentukan. Kita sebagai manusia hanya bisa berikhtiyar dan berdoa. Ummi dan Abahmu tidak memandang status pria yang akan mendampingimu kelak. Ummi hanya bisa berdoa semoga kamu mendapat jodoh yang baik. Yang bisa memimpin dirimu dan memimpin pesantren ini kelak. Saat Ummi dan Abahmu sudah tiada.”
Hidayah tertegun mendengar penuturan ibunya. Dia memeluk ibunya erat-erat. Beberapa kali Hidayah mencium pipi ibunya yang selama ini mengasuh tampa pamrih. Matanya semakin berkaca-kaca. Begitu pun Nyai Halimah yang turut meneteskan air mata. Dia begitu peduli dengan putri satu-satunya itu. Mereka terus berpelukan menghayati kearifan sebagai seorang ibu dan sebagai seorang anak. Mereka tak mampu menahan tangis bahagia. Gerimis yang semakin deras turun dari langit malam seakan menjadi saksi tangis bahagia mereka.
****
Semangkok bubur terlepas dari genggaman tangannya. Badannya terasa tak bertulang. Jantungnya seakan tak berdetak. Dia ingin berteriak, tapi tak mampu bersuara. Dia ingin berlari memeluk anaknya, tapi kekuatannya sudah sirna. Dia hanya bisa melihat pasrah darah keluar dari hidung putri kesayangannya, Khotijah.
“Astaghfirlah, astaghfirlah, ada apa?” tanya Kyai Hamid sambil memopong tubuh istrinya, “Apa yang terjadi, Ummi?”
“Abi, anak kita. Anak kita Khotijah. Ada darah keluar dari hidungnya,” jelasnya sambil menghela nafas, “Cepat panggil dokter, Bi,” pintanya cemas.
Kyai Hamid langsung melihat keadaan Khotijah. Kekuatannya tiba-tiba lemah. Sajadah di bahunya pun jatuh tak terasa. Dia berusaha kuat di tengah sisa tenaganya. Air matanya kembali membasahi kedua pipi yang tak lagi kencang itu. Kedua tangannya berusaha meraih kepala Khotijah. Jemari tangan kanannya membersihkan darah yang keluar dari hidungnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berdoa yang tersirat dalam hati kecilnya, Ya Allah, ampuni dosa putri hamba. Janganlah Engkamu memberi cobaan yang tak mampu dia tanggung.
Seorang suster masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat keadaan Khotijah yang wajahnya sudah pucat pasi dengan darah mengalir di hidungnya. Berselang kemudian, dokter Ruslan dengan dua orang perawat turut hadir memeriksa Khotijah. Seorang perawat menghampiri Kyai Hamid dan istrinya yang tak kuasa meneteskan air mata.
“Kyai dan Nyai sebaiknya berada di luar ruangan. Biar kami dan dokter Ruslan yang menangani putri Kyai. Doakan Insya Allah kami akan memberikan yang terbaik.”
“Tidak, dok. Saya tidak ingin meninggalkan putri saya. Dia sedang sakit dan menderita,”  Nyai Ainiatul hasanah mengiba, “Saya tidak sudi dia ditinggalkan sendirian. Biarkan saya bersamanya!”
“Istighfar Ummi,” pinta Kyai Hamid sambil memeluknya, “Jangan buat abi ragu pada kuasa Allah dengan sikapmu ini. Kuatkan hatimu menghadapi cobaan ini. Allah Maha Melihat dan Maha Tahu.”
“Abi, putri kita baik-baik saja, kan?” tanya istrinya dengan nada sedih. Sementara Kyai Hamid dengan mata berkaca-kaca menatap wajah istrinya yang penuh akan air mata, “Pasrahkan semua pada Allah. Mari kita keluar dari ruangan ini. Biarkan dokter Ruslan yang menangani putri kita. Kuatkan hatimu ummi. Semua pasti baik-baik saja.”
Setelah dibujuk, Nyai Ainiatul Hasanah mau keluar. Dia terus menatap wajah Khotijah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang di sepanjang langkahnya menuju ke luar ruangan. Air matanya terus menetes. Dia seolah merasakan sakit seperti rasa yang diderita putri satu-satunya itu.
Layaknya seorang ibu, Nyai Ainiatul Hasanah sangat mencitai Khotijah. Cintanya begitu tulus. Setulus cinta seorang rasul pada ummat manusia. Cinta itu begitu kuat. Baginya, dia adalah hidup dan matinya. Dan tidak ada kekuatan cinta, kecuali cinta Nyai Ainatul Hasanah pada putrinya, Khotijah.
=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan dan penulis Novel Pesan Keramat sekaligus Direktur KME.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah