Cerpen (2): Air Mata Kyai Hamid

Oleh: Rosidi Achmad*

SEMUA MATA santri Al-Fatah tertuju pada Zainuddin  yang sedang memegang piala. Dia meraih juara satu lomba baca kitab tingkat nasional di Jombang. Semua pesantren di Indonesia mengikuti lomba itu. Seluruh santri dan Kyai Hamid bangga memiliki santri seperti dia. Kebahagiaan itu turut terlukis di wajah Khairul Mufid. Kebahagiaannya tampak dari kedua matanya yang berkaca-kaca. Semua jerih payah dan pengorbanannya tidak sia-sia. Kini dia bisa membuktikan, bahwa tidak ada yang tidak mungkin bila usaha dan doa masih ada. Kebahagiaan Khairul semakin bertambah, saat Zainuddin maju ke atas podium. Kyai Hamid menyuruhnya memberikan sepatah kata pada seluruh santri. Zainuddin mendekati pengeras suara. Dia mulai mengucap salam. Semua santri termasuk Khairul menjawab salamnya. Lalu Zainuddin mulai berbicara,
“Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya. Hari saat saya diberi nikmat yang begitu besar oleh Allah. Allah memberikan kesempatan pada saya untuk mencicipi nikmatnya menjadi seorang pemenang. Meski begitu, saya selalu ingat kata-kata dari seseorang. Pemenang sesungguhnya, adalah orang yang mampu memiliki jiwa pemenang. Orang yang memiliki jiwa pemenang adalah bersyukur saat dia jadi pemenang. Lalu kembali lagi ke arena tempur untuk kembali mempertahankan kemenangan itu,”
“Ribuan terimakasih ini saya ucapkan untuk semua ustaz, jajaran pengurus pesantren, dan seluruh santri yang tidak mungkin saya sebutkan namanya satu persatu, dengan tidak mengurangi rasa terimakasih saya, wabil khusus ila mudirul mahad, Kyai Hamid. Perkenankan pula saya mengucapkan terima kasih pada seorang santri. Dia adalah penyemangat saya. Bahkan kemenangan ini sesungguhnya adalah milik dia. Santri yang selama Sembilan tahun mengabdi dan mendidikasikan dirinya untuk kita semua. Santri yang selalu menyisakan waktu mengumpulkan botol plastik di tengah jam kuliahnya untuk mengumpulkan dana, agar program kitabiyah tetap berjalan. Santri yang selalu melayani kami siang dan malam. Menjadi payung saat hujan. Menjadi pohon yang meneduhkan saat panas datang. Semangatnya tidak pernah pudar untuk mengabdi pada semua santri. Dia seperti mentari yang menyinari dunia atau seperti batu karang di lautan lepas yang tidak pernah berubah dan mengeluh di laut lepas. Ya, santri itu adalah Cak Khairul. Terimakasih atas kesudianmu menjadi ketua pengurus bagi kami. Kau selalu memberikan yang terbaik bagi kami. Dan kau selalu mengedepankan kepentingan santri dari pada dirimu sendiri. Sebagai tanda terima kasih kami pada mu, tropi kemenangan ini saya serahkan pada mu, Cak.”
Suasana kebahagiaan dan tangis kecil bercampur menjadi satu. Tidak ada suara yang keluar. Kecuali tangis kecil dari sebagian santri dan suara kipas angin yang berputar. Seluruh santri menjadi saksi akan sebuah perjuangan. Sepanjang apapun lintasannya, pasti ada garis finish-nya. Seberat dan sesulit apapun beban, bila kebersamaan dan ikhlas mencari ridho Allah masih ada, pasti akan terasa ringan. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepiaan. Di balik kesusahan pasti ada kebaikan.
Kini para santri berdiri sambil bertepuk tangan, saat Zainuddin meninggalkan podium utama. Khairul Mufid yang berada di depan podium turut berdiri dan bertepuk tangan. Dia merasa air mata kebahagiaannya semakin terasa. Tangis kecil dan senyum menyatu di raut wajahnya. Sesekali jemarinya menyeka airmatanya.
Zainuddin terus berjalan sambil membawa tropi kemenangannya. Itu semua Khairul saksikan dengan jelas. Zainuddin menuju Khairul yang tersedu dalam kebahagiaannya. Khairul menunggu dengan hati berdebar-debar.
Gemuruh tepuk tangan tiba-tiba berhenti sejenak. Zainuddin memberikan tropi yang dia pegang pada Khairul. Lalu melihat wajah Khairul. Pandangan mereka bertemu dalam satu tatapan. Khairul meraihnya. Zainuddin berkata sambil tersenyum bercampur tangis kecil, “Cak, tropi ini adalah milikmu. Ambillah.”
Khairul mengambil tropi itu, lalu dia memeluk Zainuddin.
Takbir tiba-tiba bergemuruh dari salah satu santri. Ruangan pun ramai dengan takbir sebagai salah satu syukur. Kyai Hamid meneteskan air mata, begitu pula H. Khairul Anwar Lubis turut larut dalam suasana itu. Mereka bahagia melihat Zainuddin dan Khairul yang telah memberikan angin segar pada pesantren yang dipimpinnya lewat prestasi yang mereka raih.
****
Setelah menghadiri acara penyambutan, Kyai Hamid beserta keluarganya bergegas menuju rumah sakit umum Pamekasan. Mereka menjenguk putrinya yang sedang sakit. Hampir satu tahun putrinya terbaring tidak berdaya di ruang ICU. Kebahagiaan dan keceriaannya seolah sirna, semenjak putrinya menderita karena menanggung penyakit di tubuhnya. Beliau tidak lagi memandang cahaya kasih sayang dari dua mata putrinya. Beliau juga tidak dapat mendengar suara putrinya yang khas. Hari-harinya begitu hampa tanpa putri kesayangannya, Fitria Yasmin.
Setiap kali Kyai Hamid memandang Yasmin, pasti kedua matanya berkaca-kaca. Doa pun tidak pernah berhenti Beliau panjatkan. Mengharap keajaiban datang dari Sang Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, agar putri kesayangannya kembali sehat. Beliau ingin melihat wajah putrinya berseri seperti dulu kala.
Bila tanpa cahaya iman dalam dadanya, mungkin Beliau akan mengakhiri hidup, tapi Beliau juga tahu seperti apa orang yang beriman dan tidak beriman. Seperti apa orang yang waras dan tidak waras. Hatinya selalu yakin, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan ummatnya. Semua sudah ada takarannya masing-masing. Itulah yang membuat Beliau begitu tangguh menghadapi semua cobaan, bahkan membuat Beliau mampu tersenyum walau hatinya meronta dan menjerit akan keadaannya.
“Fitri, kamu harus kuat, Nak,” tukas Nyai Ainiyatul Hasanah sambil memberi kecupan di kening putrinya, “Ummi dan abah selalu bersamamu.”
“Ummi benar. Kamu harus kuat. Allah sedang menguji kekuatanmu, bila kamu mampu melewati ini dengan sabar, Allah akan memberi pahala tak terhingga padamu,” imbuh Kyai Hamid sambil memegang bahu istrinya, Nyai Ainiyatul Hasanah.
Tok…! Tok…!Tok…!
Tiba-tiba seorang perawat masuk. Mereka berhenti berdialog yang baru saja tercipta. “Assalamualaikum,” perawat itu mengucap salam.
“Waalaikum salam,” jawab Kyai Hamid dan Nyai Ainiatul Hasanah hampir bersamaan.
“Maaf mengganggu, dokter Ruslan meminta pihak keluarga pasien Fitria Yasmin untuk menghadap ke ruangannya.”
Kyai Hamid hanya menganggukkan kepala.
“Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum,” ucap perawat itu menutup pembicaraan.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarkatuh.”
“Ya sudah, abah saja yang menghadap pada dokter Ruslan,” pinta Nyai Ainiyatul Hasanah sambil menyeka air matanya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Kyai Hamid langsung menuju ruangan dokter Ruslan.  Di tengah langkah tangguhnya, Beliau terus berdoa. Rasa kesedihan terukir jelas di wajahnya. Sesekali Beliau membuka kopyah putihnya, berharap ketenangan masuk. Seketika itu juga Beliau sadar, bahwa apa yang Beliau lakukan tidak bisa mengurangi masalah. Beliau pun membaca shalawat dalam hatinya. Berharap ketenangan hati dan keyakinan pada semua masalah adalah dari Allah.
Beliau pun mulai mengetuk pintu yang terbuka sedikit, memperlihatkan keadaan seseorang di dalam ruangan. Ada orang di dalam memperkenankan Beliau masuk. Beliau membuka pintu dengan pelan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,”  balas dokter Ruslan sembari berdiri memberi hormat, “Mari silahkan duduk, Kyai.”
Meski berat Kyai Hamid turut tersenyum, “Bagaimana saya bisa duduk, sedangkan dokter berdiri.”
Dokter Ruslan tertawa kecil. Mereka berdua pun sama duduk. Dokter ruslan mulai membuka pembicaraan, “Kyai, saya juga bahagia mendengar santri Kyai mendapat juara satu lomba baca kitab tingkat nasional di Bogor.”
“Al-hamdulillah.”
“Saya tambah yakin, bahwa di balik kesusahan pasti bersama kebahagiaan bila kita terus berikhtiyar dan tawakal. Santri Kyai adalah buktinya. Mula-mula pasti santri itu musakkat, tapi kesabaran dan kerja kerasnya bisa memetik buahya.”
Kyai Hamid hanya tersenyum mendengar pujian dokter Ruslan. Beliau paham betul, itu semua hanya untuk menghibur dirinya. Bagaikan nasi menjadi bubur. Semua sudah tidak ada gunanya. Beliau merasa ruangan megah itu begitu sempit. Pendingin ruangan seolah berubah menjadi panas. Semuanya terasa berat bagi Beliau. Di tengah keadaan itu Beliau mencoba tenang dan mulai membuka pertanyaan, “Maaf dok, sebenarnya apa maksud dan tujuan dokter memanggil saya kesini?”
Dokter ruslan menghela nafas. Berat baginya untuk mengatakan penyakit yang tengah menggerogoti pasieannya itu, tapi bagaimanapun itu adalah tugasnya, “Ini mengenai penyakit putri Kyai,” dokter mulai membuka pokok pembicaraan.
“Katakan saja dok,” potong Kyai Hamid, “Saya sudah siap dan menerima kenyataan ini.”
“Saya ingin memberikan hasil pemeriksaan putri Kyai, Fitria Yasmin,” ucap  dokter Ruslan. Sambil menghaturkan amplop dengan wajah tertunduk.
Wajah Kyai Hamid langsung terlihat pasi. Seluruh badan Beliau gemetar. Semua kenangan bersama putrinya terputar kembali. Kenangan saat menggendongnya di waktu kecilnya. Kenangan saat tidur bersama. Kenangan saat melaksanakan kewajibannya sebagai hamba. Baginya, Yasmin adalah sesuatu paling berharga dalam hidupnya.
Tangan kanan Beliau mulai meraih amplop itu. Hatinya membaca basmalah berkali-kali, berharap ketenangan masuk ke dalam hatinya. Segera Beliau mengambilnya. Tanpa membuang waktu Beliau langsung membacanya.
“Itulah hasil yang kami peroleh dari hasil pemeriksaan putri Kyai,” ucap dokter Ruslan.
Kyai Hamid terkejut. Kedua matanya berkaca-kaca. Tubuhnya terasa tak berpijiak di atas bumi setelah membaca tes laborat dari dokter Ruslan.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan Sekaligus penulis Novel Pesan Keramat.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah