Cerpen (3): Blok E No. 9 (Mengenang Masa lalu Bersama Kalian)

Oleh: Rosidi Achmad*

Pondok itu sangat sederhana. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu. Ruangannya bisa ditempati lima sampai sepuluh orang. Setiap bangunan berderet rapi mengelilingi masjid. Keindahannya begitu memesona dengan warna cet hijau daun menghiasi setiap bangunan. Keindahannya mengalahkan bangunan pencakar langit. Di dalamnya tidak terdapat pendingin, karena setiap waktu udara selalu terhembus dari celah-celah jendela. Tidak ada pagar, karena setiap orang yang ada di sekitarnya saling menjaga satu sama lain. Tidak ada penerang merkuri, karena cahaya rembulan selalu meneranginya setiap malam. Tidak ada alunan musik terdengar, kecuali nadham-nadham Al-Fiyah dan zikir yang mengalun dari semua santri. 
Khairul baru saja melaksanakan shalat dhuha di dalam pondoknya. Dia tidak melaksanakan shalat dhuha berjemaah. Semalaman dia tidak bisa tidur. Kepalanya sedikit pusing. Dia selalu istiqomah melaksanakan shalat sunnah dhuha, walau di dalam pondok yang hanya berukuran enam meter persegi. Ada empat orang santri di pondok itu; Surahman, Sahri, Edy dan termasuk Khairul yang sedang tertidur lemas usai melaksanakan shalat dhuha.
Surahman muncul dari balik pintu pondok membawa sebungkus  nasi, di susul Edy di belakangnya. Mereka baru datang dari pasar. “Bagaimana, sudah mendingan pusingnya, Cak?” tanya Surahman.
“Ini kita bawa nasi untukmu, Cak. Lekas dimakan ya agar cepat sehat lagi,” pinta Edy.
Khairul membalikkan badannya sambil melihat ke arah Surahman dan Edy. Lalu duduk bersila.
“Cak Khairul puasa hari kamis depan saja,” tutur Edy cemas, "Kita hawatir dengan keadaanmu, Cak. Nanti sakitnya tambah parah lagi."
“Terimakasih,” tutur Khairul seraya mengambil sebungkus nasi dari tangan Edy,  “O, iya, jika kalian bertemu Sahri, sampaikan saya tidak bisa membantu ngumpulin botol plastik sisa minuman. Kalian benar, untuk sementara saya harus istirahat dulu,” lanjut Khairul lalu mulai melahap nasi itu.
Edy mulai sibuk mencari kitab. Sedangkan Surahman terus berbicara dengan Khairul, “Nasi itu kita dapatkan dari Sahri, sepertinya dia sudah tahu, kalau Cak Khairul sedang sakit.”
“Betulkah, nasi ini dari Sahri?” tanya Khairul penasaran.
Surahman menganggukkan kepala. Lalu dia kembali mengalihkan pertanyaan, perihal kejadian kemaren, “Tapi aneh, kenapa Cak Khairul sampai kehujanan, biasanya tidak begitu?"
Khairul kembali membaringkan badannya kembali. Dia mengganjal kepalanya dengan bantal. Ketenangan mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Lalu mulai bicara, “Ceritanya panjang. Hari itu saya telah melaksanakan shalat berjemaah zuhur di masjid. Pas waktu pulang, saya melihat dua orang gadis?”
“Dua gadis,” potong Surahman, “Gadis-gadis itu cantik, kan?” lanjut Surahman antosias. Kini dia mulai berangsut mendekati posisi Khairul.
“Hu, kuno  kamu, Man,” tukas Edy ketus di sela-sela kesibukannya mencari kitab, “Seperti orang tidak pernah melihat cewek saja. Awas, nanti hafalan Al-Fiyahmu hilang baru tahu rasa kamu.”
Khairul Tersenyum, lalu kembali melanjutkan ceritanya, “Salah satu dari mereka kehilangan buku catatan hadisnya. Lantas, saya menawarkan diri untuk membantu mereka. Hitung-hitung sekedar meringankan beban sesama ummat muslim, karena waktu itu cuaca sangat tidak bersahabat. Kurang etis sepertinya jika saya membiarkan wanita hujan-hujanan di jalan.”
“Bagaimana Cak Khairul bisa menawarkan diri untuk membantu mereka?” tanya Surahman, “Padahal Cak Khairul belum tahu, buku yang mereka cari ada di tangan siapa?”
“Tadinya memang ada seseorang yang menemukan buku. Saya punya firasat kalau buku itu yang mereka cari, eh, ternyata benar,” tutur Khairul sesekali pandangannya menerawang lewat jendela pondok. 
“Emang, nama mereka siapa, Cak?” tanya Surahman.
“Nah, itu dia,” jawab Khairul, sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Saya lupa tidak nanya.”
“Huh, tetap saja kamu, Cak.”
“Maksud kamu?” tanya Khairul penasaran.
“Ingat, lho, Cak. Kamu sudah sarjana. Di mana-mana orang yang sudah mendapat gelar sarjana, minimal sudah punya tunangan. Sedangkan kamu hanya sebatang kara tampa kekasih hati. Apa kata dunia?” jelas Surahman seraya menggelengkan kepala.
Khairul tersenyum sambil bertutur malu, “Ya, kan jodoh ada di tangan Allah. Sabar. Kau kan tahu sendiri, bahwa saya akan melanjutkan kuliah ke S2.”
“Ya, saya juga tahu. Cepetan Cak, nanti keburu diambil orang lagi. Bukankah tidak ada larangan bila nikah sambil kuliah?”
“Mmm, sesuatu akan indah pada waktunya. O, iya, Kyai sudah datang dari rumah sakit?” tanya Khairul bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Belum, Cak,”  jawab Edy, “Katanya sih, Neng Fitri belum siuman.”
“Wah, sudah jam setengah tujuh. Gimana, kitabnya sudah ketemu?” tanya Surahman pada Edy yang sibuk mencari kitab.
“Al-hamdulillah, semuanya sudah lengkap,” jawab Surahman.
“Kalau begitu, kita berangkat dulu,” tutur Edy, “Cak Khairul istirahat saja dulu. Biar Surahman nanti yang masak nasi, pas pulang dari ta'lim.”
"Lho, kok, saya lagi, Ed?" Tanya Surahman sambil menggaruk kepalanya.
"Mau apa tidak?" Edy mengancam.
Surahman tersenyum.
"Kalau tidak mau, berarti jumat depan tidak ada kacang, tahu, dan nasi putih lagi!"
"Ampun. Ampun. Iya saya yang akan masak, asal kamu mau ngasih kiriman ibu mu yang enak itu."
"Sudah berangkat sana. Takut kajian dimulai."
"Nah, ini baru Surahman yang saya kenal. Ya sudah, Cak, kita berangkat ke Ta'lim dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Mereka pun berangkat, Khairul berusaha memejamkan mata, berharap segera tidur awal waktu di pondok tercintanya, Blok E No. 9.
*****
Surahman, Edy, Sahry dan Khairul, adalah empat santri dari ribuan santri pondok pesantren Al-Fatah. Santri-santri menyebut mereka si empat kembar tapi beda. Persahabatan mereka berempat sangat kuat. Rasa saling melengkapi satu sama lain sangat tertanam di antara mereka. Lapar bersama dan kenyang bersama. Seperti itulah mungkin kata-kata yang pas bagi mereka.
Surahman adalah si kembar termuda di antara mereka. Usianya baru dua puluh tahun. Dia memiliki warna kulit sawo matang. Wajahnya agak bulat dengan mata besar dan bulu alis tebal. Bibirnya sedikit hitam. Dia adalah mantan pecandu rokok kelas berat. Dan giginya besar-besar persis seperti gigi tonggos. Santri  menyebut dia sebagai Surahman Bruno. Maaf, bukan Bruno Mars. Bruno Mars adalah penyanyi Pop, Hip-Hop, Soul, R&B dan pencipta lagu yang berasal dari California, Amerika Serikat yang lahir di Hawaii itu.
Entah dari mana kata Bruno santri dapatkan dan menyematkannya di belakang namanya.  Yang jelas dia tidak mirip dengan vokalis Bruno Mars. Dia juga tidak bisa membuat bait puisi, apalagi sebait lagu. Suaranya, sama sekali tidak seindah sang musisi legendaris itu. Ada cerita; Pernah sekali dia membaca shalawat di masjid dengan pengeras suara. Hampir semua santri lari tunggang langgang saat mendengar suaranya. Bayangkan sendiri, seberapa jelek suara si Bruno dari Madura itu?
Surahman duduk di kelas dua belas SMK Otomotif Al-Fatah. Cita citanya ada dua. Pertama, dia Ingin jadi teknokrat yang hafal Al-Fiyah dan Sullam Safina agar kelak bisa bermanfaat di desanya, Potreh. Kedua, membuang kebiasaan lamanya yang selalu tidur dan tidur. Cita-cita itu yang membuatnya selalu berusaha agar lebih baik dari hari ke hari. Dia tak pernah menghiraukan orang menyebut namanya sebagai Bruno dari Madura. "Ah, sudahlah yang penting mereka seneng saat menyebut nama saya Bruno. Bukankah membuat orang seneng itu adalah ibadah?" Seperti itulah umpatannya.
Si kembar kedua adalah Edy. Dia juga berumur dua puluh tahun. Lebih tua dari Surahman lima belas hari. Mereka memang lahir di bulan yang sama, September. Sekarang masih duduk di kelas dua belas Madrasah Aliyah Al-Fatah. Parasnya tampan nan rupawan. Dia tidak merokok. Kata-katanya lebih santun dari Surahman. Suaranya bagus lembut dan lantang. Beberapa kali dia diundang kelompok hadrah untuk menjadi vokalis lagu shalawat. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi lebih tinggi dari Surahman. Santri biasa memanggilnya dengan sebutan Edy Carong.
Edy lahir di desa Sanah Laok. Desa itu terpencil nan terjal. Tak ada alat transportasi modern. Semua serba tradisional. Keinginan besarnya untuk belajar ilmu dan menjadi santri mengalahkan keadaan itu. Orangnya optimis. Semangatnya berapi-api dan tak pernah menunda waktu bila masalah kebaikan.
Jarak antara desa sana laok dan pesantren Al-fatah kurang lebih sepuluh kilo meter. Kedua orang tuanya rutin mengirim makanan ke pondok setiap hari jumat dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki melewati tanjakan dan sungai sungai yang penuh dengan ular-ular berbisa. Bisa Anda bayangkan bagaimana bila keadaan itu ada pada Anda?
Sahri adalah si kembar ketiga. Dia adalah santri yang tekun, penggila fetion, dan aneka kuliner. Di dalam lemarinya ada banyak gambar baju-baju gaya baru. Badannya paling gemuk di antara semua. Senyumnya manis, berkulit putih, rambutnya lurus dan terpotong rapi.
Sahri lebih menghabiskan waktunya di blok E No. 9 meski kamarnya berada di blok H No. 22. Kedekatan dengan Surahman, Edy lebih-lebih dengan Khairul adalah penyebabnya. Rutinitasnya selalu bersama Khairul sebagai pemulung sampah di sekitar pesantren. Usianya lebih muda dua tahun dari pada Khairul.
Sahri memiliki kekuatan menghafal tinggi dan kemampuan analisis yang baik pula. Dia seolah permata yang berkilau di tengah air jernih. Dia tumbuh besar di lingkungan keluarga yang berada. Pendidikannya hanya sampai di bangku Madrasah Aliyah. Bukan dia tidak mau melanjutkan pendidikannya ke bangku Universitas. Dia bersikukuh akan melanjutkan pendidikan bila dia mampu membiayai dengan usahanya sendiri. Bukan dari orang tuanya yang kaya. Dari cara berpakaian, dan kehidupannya tidak mencerminkan dia anak konglomerat. Tidak ada rasa angkuh, acuh tak acuh, apalagi sombong dalam dirinya. Semua santri menyukai peragainya, kecuali satu hal, ketika dia ingin disebut-sebut sebagai 'ustad gaul'.
Ya, Ustad Gaul adalah julukan yang dia idamkan. Tapi kenyataan berkata lain. Namanya populer dengan sebutan 'Sahri Akung', bukan si Ustad Gaul seperti yang dia inginkan. Awalnya dia merasa jengkel mendengar santri menyebut nya sebagai Sahri Akung, tapi akhirnya dia menerima dan ikhlas. Seikhlas Surahman saat dipanggil sebagai Surahman Bruno.
Memang, semua sahabat Khairul memiliki julukan nama di mata semua santri. Seperti surahman dengan nama populernya Bruno, Edy_Carong, Sahri_Akung. Itu semua hanyalah hiburan semata dan untuk mendinginkan otak saat hafalan Al-Fiah menghantam.
Itu semua hanya julukan, dan tidak ada maksud untuk merubah nama. Karena semua santri tahu, nama adalah identitas dari si pemilik nama. Islam menganjurkan pemeluknya untuk memiliki nama yang bagus dan bermakna bagus pula.

=====================

*Penulis adalah alumni santri Pondok Pesantren Al-Falah Dempo Barat Pamekasan dan penulis Novel Pesan Keramat sekaligus Direktur KME.


0 comments:

Yuk Bagikan

Galeri Madrasah